Pembuat Kubah dan Tukang Pos
Cerita Pendek Adek Alwi
IA
lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar
matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain
yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan
tetangga atau kenalan yang lewat.
Juga
dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar
halaman.
Tiap
kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala
yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk,
mendekat tertatih-tatih. “Wah. Kosong, Pak Kubah!” sambut tukang pos.
“Kosong?”
“Mungkin
besok,” suara tukang pos seperti membujuk.
“Ya,
mudah-mudahan.” Pembuat kubah itu manggut-manggut.
“Banyak
surat diantar hari ini?”
“Lumayan,
Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira.”
“Mudah-mudahan.
Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos.”
“Tapi
awak hanya tukang pos, Pak Kubah.” “Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah
tak sampai.”
“Terima
kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah.”
Tukang
pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk
laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya.
Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan
untuk kubah.
Istrinya
meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil.
Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan
merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang
pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini
pensiun.
“Kurang
waras?” tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.
“Tidak.
Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib.
Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun.”
“Sejak
muda membuat kubah?”
“Kata
orang, sejak kecil,” ujar tukang pos tua. “Langganannya tidak cuma dari kota
ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif.”
“Maksud
Bapak?”
“Ia
hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa.”
“Wah!”
“Punggungnya
pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah.” Tukang pos muda itu kembali
melongo. “Maksudnya bagaimana?” “Punggung pembuat kubah itu,” kata tukang pos
tua menjelaskan. “Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung,
sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium
tanah!”
Mungkin
karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub
melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda
akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu
ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak
dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu
kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang
padi.
“Nah!
Betul, kan ?” sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu
sore-sore dan bercerita.
Tukang
pos muda itu membenarkan. “Tapi kenapa bisa begitu?” tanyanya.
“Tidak
ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi
hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu.”
“Tidak
pernah Bapak tanya?”
“Tak
tega saya. Dia baik dan ramah sekali,” jawab tukang pos tua. “Saya cuma singgah
tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat
dan mungkin besok.”
Tetapi
tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh
mendengarnya. “Ada-ada saja,” katanya. “Padi memang begitu, Pak Pos. Eh
mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak
Pos Tua dan orang-orang itu.”
“Jadi
Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,”
“Hehehe.
Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua
ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak
saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?”
“Oh.
Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok.”
“Ya,
ya. Mudah-mudahan.” Pembuat kubah itu manggut-manggut.
Sejak
itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat
kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu
belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat
senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya,
dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat
gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang
muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik
daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di
halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap.
Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang
pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang
goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng.
Pembuat
kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan
serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski
kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya
hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau
membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau
mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil
bercakap-cakap dengan si tukang pos.
“Hebat!”
puji si tukang pos muda.
“Ya?”
“Hebat
benar Pak Kubah bekerja!” ulang tukang pos.
“Cekatan,
seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah.”
“Hehehe.
Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda
motor.”
“Dan
ikhlas,” ujar si tukang pos.
“Ya,
ya. Kalau tidak tentu berat terasa,” sambut si pembuat kubah.
Mereka
terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si
pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih
tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan
badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang
pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan
keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah
dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi
dia usia panjang seperti tukang kubah itu?
“Berapa
umur Pak Kubah tahun ini?”
“Hehehe.
Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat
lagi menyangga tubuh.” Pembuat kubah itu kembali tertawa.
Musim
hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap
berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam,
pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko
bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis.
Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura.
Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok.
Pembuat
kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan
rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi
telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos
ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena
sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup
melambai, dan teriak, “Kosong, Pak Kubah!” Namun, dia tepikan sepeda motor
begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat
tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung.
“Wah.
Kosong, Pak Kubah!”
“Kosong?”
“Kosong.
Tapi mungkin besok.”
“Ya,
ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi.”
“Terima
kasih. Masih banyak surat harus diantar.” Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak
dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju
emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah.
Seperti
biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak
pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket
atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi
badai.
Tukang
pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup
sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga
perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap “kosong Pak Kubah,
mungkin besok” dengan suara, bibir dan dada bergetar. Kemudian dilihatnya pula
lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju
emperan rumah.
Tetapi
suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski
masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya
berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan
kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. ” Surat Pak Kubah!”
”
Surat ?”
“Ya.
Surat ! Dari anak Pak Kubah!”
Pembuat
kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu
melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah
rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan. ***
Cerpen “Pembuat Kubah dan Tukang Pos”
Cerita Pendek Adek Alwi @ Lenteng
Agung, 23 Juli 2005
Sumber : http://maselly2000.wordpress.com/
ARTIKEL TERKAIT: