Warisan
Barham
betul. Ia punya hak atas sebagian harta yang cukup banyak itu. Kira-kira empat
sampai lima miliar rupiah.
“Lumayan kan, Mas?” katanya padaku.
“Bukan lumayan lagi,” kataku. “Untuk ukuran saya, itu sudah luar biasa.
Maklum, saya kan tidak kaya seperti Anda.” Ia tertawa, mungkin senang dan
bercampur bangga. Aku pun tersenyum.
“Tapi masalahnya tak semudah yang kita kira,” katanya kemudian agak
kendor.
“Kenapa?”
“Begini. Ternyata kakak saya itu bangsat juga, bahkan bangsat besar.
Harta itu ia kuasai sendiri. Ia tidak mau membaginya menurut hukum waris. Dan
saya hanya dijatahnya tiap bulan tak lebih dari delapan ratus ribu. Adik perempuan
saya lebih sedikit lagi.”
“Lumayan juga .”
“Lumayan bagaimana? Apa artinya uang segitu dibanding dengan keuntungan
yang ia peroleh tiap bulan dari harta yang belasan miliar itu? Tiap bulan ia
dapat puluhan atau mungkin ratusan juta.”
“Lalu?”
“Ya, tak ada lalunya. Sampai sekarang pun saya sudah kawin dan punya dua
orang anak, saya masih juga dijatah segitu.” Aku tak habis mengerti. Bagaimana
seorang kakak memperlakukan adik-adiknya demikian. Begitu tega ia menguasai
sendiri harta warisan dari ayahnya. Adik-adiknya hanya dijatahnya dengan jumlah
yang tidak begitu
banyak.
* * *
Barham
betul. Ia punya hak penuh atas harta bagian warisannya itu. Dapat dimengerti
kalau ia sampai begitu jengkel dan marah. Semua itu ia lampiaskan di hadapanku.
“Bahkan ibu saya, ibunya sendiri ia jatahi juga seperti seorang anak
kecil.”
“Terlalu, “ kataku.
“Terlalu sekali,” sambungnya. “Kalau sedikit saja ia punya rasa
perikemanusiaan, ia tak akan berbuat begitu. Tak usahlah kita bicara tentang
rasa keagamaan atau iman atau yang semacamnya. Saya kira ia sudah buta
tentang itu.”
Sekali lagi Barham memang betul. Ia melampiaskan semua itu di hadapanku.
Tetapi, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku tidak punya kekuasaan yang bisa
memaksa kakaknya itu. Aku hanya salah seorang teman
dekatnya. Walau kami pernah belajar di luar negeri dulu, Barhan memang
pernah tinggal satu flat denganku. Ia seorang yang baik dan cukup cerdas.
Hanya saja ia agak penggugup dan penakut. Kabarnya karena ayahnya amat
keras kepada anak-anaknya, termasuk Barham. Mungkin jiwa Barham tidak begitu
kuat menghadapi guncangan-guncangan itu. Hal itu tampak jelas dalam gerak-gerik
dan perilaku Barham sehari-hari.
* * *
Contoh-contoh
dapat banyak kita temukan. Kalau Barham, misalnya, kusuruh cepat-cepat mendaftar
masuk universitas, dengan serta-merta ia menolak dengan berbagai macam alasan.
“Nanti, tahun berikutnya saja, Mas,” katanya padaku.
“Kenapa?” tanyaku
“Saya harus memperkuat bahasa dulu.”
“Saya kira sekarang sudah cukup. Dan itu dapat terus diperbaiki dan
disempurnakan sambil jalan.”
“Wah, itu yang saya tidak sanggup.”
“Kenapa tidak?”
“Ya, begitulah. Lebih baik saya tangguhkan dulu.”
“Teman-teman dari Eropa, Jepang, dan Afrika, bahasa mereka sudah cukup
baik dengan hanya belajar rajin dalam waktu beberapa bulan saja. Kenapa kita
harus menghabiskan setahun lebih hanya untuk itu?”
Namun ia tetap tidak mau. Sebenarnya, ia hanya kurang berani. Tatkala
sudah masuk universitas pada tahun berikutnya, kuliahnya juga agak tersendatsendat.
Dekat-dekat waktu ujian, ia sudah sakit. Sakitnya macam-macam. Saya kira
sebenarnya hanyalah karena faktor psikologis. Ia takut menghadapi ujian-ujian
itu dan agaknya ia dapat pelarian yang cukup aman dengan jalan sakit itu.
* * *
Tatkala
suatu kali, ia dapat telegram bahwa ayahnya meninggal, langsung ia mau ambil
keputusan pulang.
“Tapi kembali lagi kan?” tanyaku serius.
“Tidak, Mas,” katanya. “Saya tak akan kembali lagi.”
“Lantas studimu ditinggalkan?”
“Ya, apa boleh buat.”
“Kan sayang sekali, setahun lagi Anda dapat tamat.”
“Tak apalah. Saya harus pulang dan membereskan harta warisan dari ayah
saya. Ayah saya meninggalkan warisan yang cukup banyak.”
* * *
Memang
sayang sekali ia tidak melanjutkan studinya. Namun, aku tidak dapat memaksanya.
Aku hanya seorang teman dekatnya. Kami pun berpisah. Cukup lama juga kami
berjauhan satu sama lain. Manalagi ia jarang sekali
menulis surat. Namun sayup-sayup, aku masih dengar juga berita tentangnya
dari teman-teman yang lain.
Waktu aku pulang, ia cukup sering datang ke rumahku. Tak lain yang
dilampiaskannya hanyalah soal harta warisan itu. Tampaknya penyakit gugup dan
takutnya sudah agak banyak berkurang sekarang. Ia sudah kawin dan punya anak
dua yang mungil-mungil.
“Lantas bagaimana rencana Anda menghadapi soal warisan itu sekarang?”
tanyaku dengan nada mau ikut cari jalan keluar. Ia diam beberapa saat, seperti
sedang berpikir berat dan kemudian mau mengatakan sesuatu, tapi tampaknya ragu-ragu.
“Katakan saja kalau ada sesuatu yang mau dikatakan,” kataku lagi.
“Sebetulnya, saya sudah punya rencana yang sudah lama saya pikirkan.
Saya sudah nekat mau melaksanakan hal itu. Hanya saja saya ragu-ragu
mengatakannya kepada Mas, mungkin Mas tak akan setuju.”
“Apa itu?”
“Saya mau santet kakak saya itu.”
“Membunuhnya?”
“Tak ada jalan lain, saya kira.”
“Kan begitu itu tidak boleh dalam agama?”
“Dan yang ia perbuat, apa termasuk dibolehkan?”
Aku mencoba mendinginkannya. Kukatakan, tujuan baik harus dilakukan
dengan cara yang baik pula. Kalau ada orang gila, kita tak usaha ikut-ikut
gila, kataku. Ia masih tetap ngotot. Lantas ia bercerita. Bahwa sebelum itu, ia
telah berusaha menempuh jalan baik dan damai. Seorang ustad ia minta untuk
menasihati kakaknya agar mau membagi harta warisan itu. Kabarnya, menurut ustad
itu, kakaknya sudah punya itikad baik untuk melaksanakannya. Namun, setelah
sekian lama ia tunggu-tunggu, tak suatu apa pun terjadi. Kembali ia
memanggil ustad itu untuk menasihati lagi kakaknya. “Insya Allah
berhasil,” kata ustad. Namun, yang diharapkan tak pernah juga terjadi.
“Ustad itu hanya mengeruk duit saja,” umpatnya padaku.
“Berapa yang ia ambil?”
“Lima ratus ribu. Itu tarif dia dan tak dapat ditawar-tawar. Harus bayar
di depan lagi.”
“Ia yang menentukan?”
“Siapa lagi? Ustad apa namanya kalau begitu, Mas?”
“Mungkin ustad calo duit.”
“Bahkan akhirnya ia bicara kecil begitu: kalau saya bersedia memberinya
satu miliar dari bagian warisan yang akan saya terima, ia bersedia mengurusnya
sampai tuntas. Hebat nggak? Saya pura-pura nggak ngerti saja.”
Cukup prihatin juga melihatnya. Ia tunjukkan kepadaku daftar kekayaan
warisan ayahnya itu. Sejumlah toko besar yang terletak di sebelah jalan utama.
Sejumlah rumah mewah dengan segala macam perabotnya. Semua itu disewakan atau
dikontrakkan. Sejumlah sawah dan perkebunan kopi, kapal laut pengangkut barang
dan orang, dan masih banyak lagi. Kagum juga aku dibuatnya. betapa kayanya sang
ayah, ini menurut ukuranku, sampai mempunyai harta yang beraneka ragam itu.
namun setelah kematiannya, anak-anaknya jadi bersengketa.
“Begini saja,” kataku seperti menemukan sesuatu.
“Bagaimana kalau dituntut saja melalui pengadilan?” Ia tiba-tiba saja
tertawa.
“Pengadilan?” katanya dengan nada sinis.
“Ya, kenapa?”
“Sudah juga, Mas. dan menemui kegagalan dan jalan buntu. sebab semua
oknum yang berkaitan dengan pengadilan itu sudah tersumpal semua mata dan mulut
mereka dengan hanya beberapa juta untuk masing-masing. Kakak saya sudah
menyogok mereka semua, hingga semua berpihak kepadanya. Malah saya yang lantas
sesudah itu mau disalahkan dan diuber-uber. Hampir saja saya kewalahan dalam
hal ini. Bayangkan, saya yang tak bersalah malah diuber-uber terus.”
“Lalu?”
“Ya terpaksa juga saya sumpal polisi yang selalu nguber saya itu, walau
tidak dengan jutaan, apa boleh buat.”
“Jadi, saling main sumpal dari sana dan sini,” kataku sambil tersenyum.
“Yang enak yang di tengah-tengah, yang menerima sumpal itu.”
“Dunia sudah benar-benar sinting. Enak dulu waktu masih jadi mahasiswa
di luar negeri kan? Tiap harinya hanya pergi kuliah, dan tiap bulan terima
beasiswa. Beres, tanpa memikirkan masalah-masalah yang jungkir balik dan
absurd.”
* * *
Lalu
diceritakannya padaku tentang kegiatan kakaknya belakangan ini. ia baru saja
selesai bikin sebuah masjid yang cukup besar, tak jauh di seberang jalan di
depan rumahnya. Juga tiap tahun ia pergi naik haji bersama seluruh keluarganya.
Tiap hari kopiah hajinya tak pernah lepas dari kepalanya. Dan sebuah tasbih
cukup besar dan panjang selalu dibawanya ke mana-mana.
“Yang begitu itu toh hanya ngibuli agama dan orang awam saja kan? Kalau
ia betul-betul ikhlas menjalankan agama, kan ia harus baik terhadap sesamanya
dan terutama sekali terhadap adik-adiknya. Dan harus
melaksanakan hukum waris yang sudah ditentukan juga oleh agama kan? tapi
ia menjalankan semua itu hanya untuk kedok belaka. Sementara batinnya penuh
keserakahan dan kebusukan.”
“Tapi Tuhan kan tak dapat ditipu?”
“Betul. Tapi Tuhan juga belum mau menolong saya, walau saya dalam
keadaan teraniaya. Hampir tiap hari saya salat tahajud, minta agar harta bagian
warisan saya itu benar-benar saya miliki. tapi hasilnya nol belaka.”
“Hm, Anda ternyata juga kurang ikhlas. Salat dan yang semacamnya itu
memang bagian tugas kita, bukan untuk minta-minta harta. Minta saja keselamatan
dunia dan akhirat dengan penuh tulus dan ikhlas, itu sudah
mencakup semuanya. Dan jangan melupakan usaha nyata tentunya. Itulah
kewajiban kita.”
Ia masih tampak sebal juga. Dan tak habis-habisnya mengomeli kakaknya
dan dunia sekelilingnya yang sudah ia anggap sinting dan gila itu. Ia pulang.
Sebelum keluar pagar halaman, sempat kukatakan padanya agar ia
melupakan saja rencananya untuk menyantet kakaknya itu. Ia hanya diam
dan tak memberikan komentar. Lama ia tidak muncul lagi ke rumah. Ada barangkali
lima minggu. padahal biasanya paling tidak seminggu sekali ia
datang. Aku juga tidak begitu mempedulikannya. Sampai suatu pagi
tiba-tiba ia datang seperti terburu-buru dan terengahengah.
“Celaka Mas, celaka besar!”
“Ada apa?” tanyaku.
“Kakak saya.”
“Ya, kenapa?”
“Tadi malam tiba-tiba ia datang ke rumah saya dengan keluarganya.
Katanya, belakangan ini ia selalu kedatangan ayah kami dalam mimpi dan selalu
dimarah-marahi. ia mulai jadi takut dan mulai jadi sadar.”
“Berita gembira?” Ia mengangguk kecil, tapi wajahnya kelihatan hambar
dan malah sedih.
“Kalau begitu, senyum dong. kan itu bukan sesuatu yang celaka.”
“Tapi, tapi benar-benar celaka!”
“Apanya? Kan tak lama lagi Anda akan jadi seorang konglomerat!”
“Ya, tapi ...”
“Tak usah susah dengan harta yang cukup banyak itu. kalau diperlukan,
saya bersedia jadi sekretaris anda. kan dapat juga kecipratan!”
“Bukan itu, Mas.”
“Tak usahlah. kita bergembira saja, bersyukur kepada Tuhan yang telah
memberikan petunjuk kepada kakak Anda, hingga terbuka hatinya ke jalan yang
benar.”
“Ya, tapi ..., tapi saya telah melakukannya.”
“Melakukan apa?”
“Saya ... telah suruh santet kakak saya semalam sebelum ia datang ke
rumah. Saya tidak tahu.”
“Apa?” aku terbelalak seketika.
Tidak tahu aku apa yang mesti kulakukan. Aku hanya terhenyak lemas di
atas kursi. Dalam benakku, aku hanya berdoa mudah-mudahan santetnya itu tidak
mempan atau tidak mandi. itu saja.
Cerpen ”Warisan”
Sumber : http://www.crayonpedia.org/
ARTIKEL TERKAIT: