Kisah Leela dan Dewi Saraswati
Cerita Rakyat Bali
Pada
suatu waktu di bumi ini hidup seorang raja yang bernama Padma yang teramat
bajik dalam segala perilakunya. Istri beliau bernama Leela, dan ratu ini
bersifat sangat luhur, mereka saling sayang-menyayangi satu dengan yang
lainnya. Pada suatu hari ratu melaksanakan sebuah yajna demi Dewi Saraswati
agar suaminya dikaruniai dengan keabadian.
Sang
ratu kemudian berpuasa berat dan memohon dua hal kepada sang dewi, yaitu
pertama : Setelah meninggalnya sang raja maka jiwanya akan selalu tinggal di
istana, dan yang kedua : sang ratu memohon dharsana dari sang dewi Saraswati.
Dewi Saraswati mengabulkan kedua permohonan tersebut, dan konon sang raja pada
suatu saat terbunuh di dalam suatu laga dan jasadnya disemayamkan di istana.
Sang
ratu meratap tanpa henti-hentinya, dan pada saat tersebut Dewi Saraswati
menunjukkan dharsananya dan berkata : “janganlah bersedih, karena semua ini
adalah sesuai dengan permintaanmu, jiwa suamimu akan senantiasa hadir di istana
ini. Taburkanlah bunga-bunga di atas jasad suamimu, dan semua bunga ini akan
tetap segar sampai saatnya dikau menemuinya lagi”.
Sang
ratu melaksanakan pesan tersebut dan kemudian bermeditasi di dekat jasad
suaminya. Pada tengah malam sang dewi hadir lagi dan berkata : “Wahai ratu yang
agung, apapun yang dikau saksikan ini adalah ilusi. Janganlah berfikir
bahwasanya semua ini sebagai kenyataan namun bersikaplah dalam kedamaian”.
Leela bertanya kepada sang dewi dimanakah suaminya berada, apa saja yang telah
terjadi dengannya dan apakah boleh menemuinya.
Dewi
Saraswati menjelaskan : “Ada tiga jenis akash, yaitu masing-masing bhutakash
(ruang, spasi elemen), chitakash (spasi mental, pikiran) dan chidakash (spasi
pengetahuan). Bhutakash ditunjang oleh chitakash, chitakash ditunjang oleh
chidakash. Setelah meninggalkan bhutakash maka suamimu pada saat ini tinggal di
chitakash.
Karena
chitakash ditunjang oleh chidakash, maka sewaktu dikau mencapai chidakash dikau
akan mampu menyaksikan seluruh kosmos, dengan kata lain dikau dapat merasakan
seluruh ciptaan sebagai bayangan-bayangan di chidakash.
Sewaktu
dikau sampai di chidakash dikau akan menyaksikan suamimu dan seluruh dunia ini.
Potensi pemahaman di dalam chitta bertransmigrasi dari suatu tempat ke tempat
lain dalam waktu yang amat singkat. Mendasari daya kekuatan ini adalah spasi
(tahap) yang dialami (anubhawa-akash). Di chidakash dikau akan menyaksikan
suamimu.
Chitakash
bertransmigrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya dan tidak pernah mencapai
keseimbangan. Hal tersebut dikatakan sebagai sphurna atau sankalpa (pemahaman
pikiran). Bhutakash adalah bumi ini di mana semua raga (yang dapat binasa)
bersemayam.
Sewaktu
alam-semesta menghilang maka yang tersisa adalah chidakash dan tahap ini adalah
tahap yang mulia dan agung yang dicapai melalui disiplin yang berkesinambungan.
Wahai Leela, akan kuanugerahkan agar dikau mampu mencapai tahap ini, agar dikau
lepas dari berbagai pemahaman pikiran dan mencapai ketenangan”.
Setelah
menyatakan demikian Sang Dewipun menghilang. Mengikuti petunjuk sang dewi, maka
sang ratupun mencapai tahap keseimbangan tersebut dan kemudian ibarat seekor
burung, sang ratu terbang ke alam chidakash dan di tahap ini beliau dapat
menyaksikan sang raja dan ibukotanya (di mana sang raja berkuasa dengan nama
Raja Widuratha).
Di
sana sang ratu menyaksikan setiap hal sama persis seperti yang pernah eksis di
kerajaannya dalam bentuk kasar di bumi. Beliau terpana, tak lama kemudian dia
melihat para punggawa berlari-larian masuk ke balairung istana menginformasikan
kepada sang raja akan serangan para musuh dari kerajaan-kerajaan lain.
Para
punggawa memohon sang raja agar mencari perlindungan dengan segera. Sang ratu
takjub dengan apa yang disaksikannya, karena tepat seperti yang terjadi di
bumi, di istananya. “Apakah yang binasa itu hanya sang raja atau juga seluruh
kerajaannya?”, tanya beliau kepada dirinya sendiri.
Beliau
segera turun ke bumi dan mendekati jasad suaminya yang masih dalam keadaan
terbaring di istananya. Kemudian sang ratu memanjatkan doa ke dewi Saraswati.
Segera sang Dewi berkenan hadir, setelah memohon maaf sang ratu bertanya kepada
dewi akan hal-hal yang telah disaksikannya di kedua alam tersebut...... yang
manakah yang nyata, yang di bumi atau di alam sana.
Dewi
Saraswati bersabda bahwasanya jawaban tersebut akan diberikannya kemudian. Ratu
Leela berkata : “Aku memahami bahwa dunia yang kami tinggali ini tidak memiliki
penyebabnya, ataukah semua ini karena sankalpa, padahal alam suamiku memiliki
penyebab. Karena alam tersebut adalah alam yang kosong, maka kekosongan
tersebut adalah penyebab alam tersebut”.
Sang
Dewi menjawab : “Demikian sebab, demikian juga akibatnya. Seperti yang baru
saja dikau katakan, alam sana adalah hasil dari kekosongan, jadi seyogyanyalah
alam tersebut juga kosong statusnya. Yang nyata menghasilkan, yang tidak nyata
tidak dapat ditransformasikan ke yang nyata dan begitupun sebaliknya. Oleh
sebab itu alam suamimu tersebut mirip dengan alam di bumi ini, atau alam
tersebut hanyalah konsep pemahaman pikiran saja (sankalpa)”.
Leela
berkata : “Akibat itu bisa saja jauh dari sebab. Ibarat tanah lempung (liat)
yang tidak dapat menampung air, namun setelah tanah liat itu dibentuk menjadi
tempayan, maka iapun sanggup menampung air, demikianlah sebab dapat jauh dari
akibat”.
Sang
Dewi menjawab : “Akibat bisa berdampak lain dari sebab, hanya kalau ada faktor
penunjangnya. Tetapi bagaimana hal tersebut mungkin terjadi kalau faktor
penunjangnya tidak hadir?, Alam-semesta yang dirasakan oleh suamimu tidak
memiliki sebab, karena jiwanya sama dengan unsur akash yang tidak memiliki
materi penyebab...... yaitu unsur-unsur penyebab, yang menyebabkan, atau alasan
khusus, jadi alam suamimu itu tidak memiliki penyebab.
Seandainya
alam semesta ini diciptakan oleh seseorang, kita mungkin dapat menerima
penyebabnya, namun karena semesta ini tanpa bumi dan elemen-elemen lainnya, dan
merupakan salah satu aspek kekosongan (Akash-rupa)......hanya konsep pemahaman
pikiran semata...... maka tidak memiliki unsur penyebab.
Sang
Ratu kemudian bertanya apakah konsep pemahaman memori adalah penyebab alam-semesta
tersebut.
Sang
Dewi menjawab : “Memori bukanlah suatu unsur; memori adalah nama lain dari
pemahaman pikiran (sankalpa), dan merupakan salah satu aspek akash atau jalan
pikiran. Memori tidak memiliki daya yang bebas, memori hanyalah sebuah refleksi
(sankalpa)”..
Leela
berkata : “Seandainya memori hanyalah sebuah sankalpa atau akash, maka
alam-semesta ini yang merupakan tempat tinggalku dan tinggalmu, pastilah
sankalpa juga”. Sang Dewi berkata : “Sekarang dikau memahami dengan benar. Aku,
engkau, ini dan itu, seluruh alam-semesta ini adalah kekosongan (akash-rupa).
Semua ini dirasakan berdasarkan ilusi, tetapi tidak diciptakan. Bagaimana
mungkin memori akan alam-semesta yang tidak nyata menjadi nyata?”.
Sang
Ratu bertanya : “Bagaimana sampai suamiku yang seharusnya berbentuk jiwa lembut
(tubuh halus), dan tidak berbentuk mampu menyandang raga dan bagaimanakah ia
merasakan alam-semesta ini?”.
Dewi
Saraswati menjawab : “Kedua dunia tersebut bersifat ilusi. Seandainya dunia ini
nyata maka memoripun akan bersifat nyata. Di dunia ini, hal tersebut telah
diciptakan di dalam sebuah atom yang bersifat pemahaman pikiran yang ilusif di
dalam chidakash. Pada suatu masa hiduplah seorang brahmana yang bernama Vasishtha,
beliau sangat religius namun beliau belum mencapai gyana. Istrinya bernama
Arundhata.
Suatu
hari sang brahmana, dari sebuah puncak bukit, menyaksikan sepasang suami-istri
keturunan ningrat bersafari ke hutan. Langsung saja Vasishtha menginginkan hal
yang sama terjadi dengan dirinya. Keinginan untuk hidup sebagai pasangan
ningrat dengan istrinya, makin hari makin meningkat di dalam dirinya. Tidak
lama kemudian beliau meninggal dunia dan sang istri memujaku seperti yang
pernah dikau lakukan, dalam hal yang samapun terjadi dengannya.
Di
kehidupan selanjutnya sang brahmana memvisualisasikan kehidupannya sebagai
seorang pangeran. Arundhatapun menyusul suaminya ke alam baka dan jiwanya
bersatu dengan jiwa suaminya. Leela, dengarkanlah lebih lanjut, baru delapan
hari berlalu semenjak meninggalnya, maka ia telah hadir sebagai Raja Padma dan
Arundhata menjadi dirimu. Langit, bumi, bukit-bukit, samudra dan tiga alam yang
dikau visualisasikan, semuanya berlokasi di ujung rumah brahmana ini.
Baru
delapan hari berlalu, dan keluargamu juga belum selesai dengan upacara
kematianmu, dan di alam ini dikau telah berkuasa selama empatpuluh ribu tahun.
Aku telah menjelaskan perincian kelahiranmu. Semua manifestasimu ini adalah
ilusi. Dunia yang dikau rasakan dan alami ini adalah delusi yang berasal dari
ilusi. Sebenarnya tidak ada yang telah diciptakan. Dunia ini tidak nyata, lalu
bagaimana mungkin memorinya dapat berwujud nyata?”.
Leela
terus bertanya : “Wahai Dewi yang mulia, aku tidak berani mengatakan bahwasanya
kata-katamu tidak benar, namun aku bingung sekali akan pernyataanmu yang
menyatakan bahwa jiwa sang brahmana tersebut beserta keseluruhan gunung,
sungai, hutan dsb. berada di sudut rumah sang brahmana ini. Bagaimanakah semua
itu dapat dimungkinkan, ibarat sesuatu yang besar diikatkan ke sesuatu yang
kecil, hal tersebut terkesan tidak mungkin”,
Sang
Dewi bersabda : “Kata-kataku tidak pernah akan jauh dari Kebenaran. Semua
pengalaman ini ibaratnya seseorang yang mengalami tiga tahap sang waktu di
dalam mimpinya. Begitu sadar dari mimpinya semua ini menghilang.
Sang
ratu masih saja kurang yakin, iapun berkata : “Baru delapan hari berlalu
setelah bramana Vasishtha meninggal dunia, dan kami telah menjalani 60 ribu
tahun dalam waktu yang sesingkat itu, aku masih tidak mampu memahaminya”.
Dewi
Saraswati menjawab : “Sudah kujelaskan kepadamu, bahwa berdasarkan sankalpa
maka waktu yang panjang tersebut dapat dialami dalam waktu yang singkat. Semua
yang dikau saksikan termasuk aku dan dirimu sendiri adalah ilusi. Sewaktu seseorang
meninggal dunia maka iapun masuk ke tahap tidak sadar, dan setelah kesadarannya
kembali ia merasakan raga, keluarga, rumah, semesta, dan lain sebagainya,
semuanya berada dihadapannya.
Semua
ini adalah pemahaman akan pikirannya yang memungkinkan waktu yang panjang
dirasakan di dalam waktu yang singkat, karena semesta itu sendiri adalah
modifikasi dari pemahaman pikiran-pikiran ini. Sebenarnya tidak ada yang
lainnya selain Brahm. Seseorang yang faham akan kebenaran ini tidak akan
berilusi lagi dan akan menghasilkan Sang Atman semata.
Sang
ratu bertanya : “Bagaimana aku dapat menyaksikan alam-semesta di mana Sang
Brahmin meninggal dunia delapan hari yang lalu?”.
Dewi
Saraswati menjawab : “Alam-semesta tersebut diciptakan di chidakash, dan kalau
dikau sampai ke sana melalui upaya yoga, maka dikau akan menyaksikan semesta
tersebut. Semesta tersebut tercipta akibat sankalpa orang-orang yang lain, dan
seandainya dikau berhasil dengan upaya yogamu, maka dikau akan mampu memasuki
sankalpa manusia lain, untuk itu dikau harus mencapai strata lembut (halus)
agar dapat menyaksikan semua itu.
Pada
saat ini dikau masih terikat oleh raga kasarmu, lepaskanlah dulu ilusi kasarmu
ini dan masuki daya lembut yang disebut chidakash ini. Setelah mencapai
tersebut seperti halnya dengan aku, maka dikaupun akan sanggup mencapai apa
saja yang dikau sukai, tanpa banyak berusaha”.
Leela
bertanya : “Seandainya Sang Atman yang non-dualistik ini bersifat maha hadir,
lalu apakah sankalpa ini yang membingungkan setiap manusia?”.
Dewi
Saraswati menjawab : “Ibarat tali yang terkesan sebagai ular di dalam
kegelapan, begitupun sankalpa ini terkesan sebagai sesuatu yang tidak jauh dari
Sang Atman yang non-dualistik ini. Semua nama dan bentuk yang dialami di dalam
sang Atman adalah ilusi belaka”.
Sang
Ratu : “Seandainya yang hadir hanyalah Sang Atman, lalu mengapa aku telah
kesana-kemari selama ini?”.
Dewi
Saraswati : “Wahai Leela, perjalananmu ini terjadi karena non-kontemplasi
(awichar) dan ilusi. Semua itu bisa dihapus dengan berfikir secara benar dan
menyatu dengan Sang Atman. Pada saat ini unsur-unsur wichar dan awichar, gyan
dan agyan terkumpul di dalam dirimu. Jadi dikau harus memfokuskan perhatianmu
ke gyana (pengetahuan Ilahi), agar hilang bentuk-bentuk ilusimu, atau dikau
dapat mencapai Atman. Dengan jalan ini seluruh ilusimu akan sirna.
Leela
berkata : “Wahai Dewi yang mulia, dikau telah berbaik hati dengan semua yang
dikau berikan kepadaku. Sekarang sudilah memberi tahu kepadaku yoga tersebut
agar aku dapat mencapai tahap Atmik tersebut”.
Dewi
Saraswati : “Upaya ke arah Brahm (Brahm-abhayasa) terdiri dari :
1.
Mengingat akan Sang Atman secara konstan.
2.
Japa demi sang Atman.
3.
Atma-bodh (Satsangh).
4.
Pranayama dengan pemusatan ke Sang Atman.
5.
Merefleksikan diri ke tahap Atmik.
Semua
ini adalah wujud dari ajaran Brahm-abhayasa. Perinciannya adalah sebagai
berikut : Ajaran-ajaran yang diterima dari para guru akan Sang Atman disebut
Atma-chintan. Menerangkan hakikat Sang Atman ke orang lain disebut Atma kathan.
Diskusi (satsangh) disebut Atma-bodh. Mengingat sabda guru atau guru-mantra
melalui pranayama disebut mengingat Sang Atman.
Menerima
Sang Atman sebagai satu-satunya unsur disebut Atma-manan. Semua ini seandainya
dilaksanakan penuh disiplin disebut Brahm-abhayasa dan mereka-mereka yang telah
terserap kepada-Nya disebut Brahm-abhayashi.
Para
peniti jalan ke Brahm dibagi dalam tiga kategori : .......
tinggi............medium..
.............rendah
(pemula). Mereka yang pemahamannya telah benar (bodh-kala) dan beriman teguh
mencapai tahap non-eksistensi dari semesta ini, mereka disebut sishya-sishya
yang tinggi kategorinya; mereka-mereka yang beriman seperti di atas namun masih
belum mencapai bodh-kala, disebut sishya dengan kategori medium, dan yang
pemula adalah mereka yang masih meniti.
Leela,
telah kuterangkan kepadamu berbagai disiplin ini, dengan mengikutinya dikau
akan bersatu dengan tahap yang mulia dan agung tersebut. ibarat tanduk
menjangan betina, maka semesta ini sebenarnya tidak eksis. Sesuatu yang tidak
eksis pada mula dan akhirnya, namun dapat dirasakan di tahap tengah, sifatnya
tidak nyata (asat)”.
Leela
segera memahami ajaran Dewi Saraswati dan iapun segera memahami unsur
non-eksistensi raganya ini termasuk semesta, ia lalu bersama-sama sang Dewi
Saraswati menyatu ke akash. Melalui tubuh lembutnya ia mampu mencapai
chidakash, iapun mampu mencapai sistem solar (mentari dan planet-planet yang
mengelilinginya), mencapai loka-loka yang unik, misalnya ke semesta yang tidak
memiliki mentari dan rembulan, namun penuh dengan makhluk-makhluk astral yang
mengapung.
Leela
juga mampu menyaksikan penciptaan dan pralaya. Setelah melalui berbagai loka,
maka mereka berdua kembali ke lokasi dimana sang brahmana meninggal dunia. Di
lokasi ini mereka menyaksikan keluarga Leela di masa yang lampau masih
berkabung dan meratap. Leela merasa bahwa ia dan dewi Saraswati hanya
menunjukkan diri mereka agar seluruh ratapan dan kesedihan ini dapat diakhiri.
Melalui
daya yang mereka miliki maka keluarga brahmana yang sedang berkabung ini mampu
menyaksikan kehadiran Leela dan Dewi Saraswati. Putra Leela, dari kelahirannya
yang dahulu yang bernama Jyeshta Sharma segera memuja mereka berdua, dan
seluruh keluarga akhirnya mendapatkan karunia dari kedua dewi ini.
Mengapa
Leela tidak menunjukkan dirinya dalam wujud aslinya yang lalu di hadapan
keluarga ini? Leela telah mencapai tahap kesadaran murni, di dalam tahap ini
tidak diperlukan nama dan bentuk, karena ilusi dan kebodohan telah sirna di
tahap ini. Demikianlah kemudian kedua dewi ini sirna dari pandangan keluarga
tersebut.
Dewi
Saraswati kemudian berkata kepada Leela : “Dikau telah melihat dan melaksanakan
sesuatu yang layak, sekarang mohonlah sesuatu dariku “.
Leela
bertanya : “Sewaktu aku berkunjung ke raja Viduratha, ia tidak sanggup
menyaksikanku, namun bagaimana caranya Jyesta Sharma sanggup menyaksikanku
melalui kemauanku?
Dewi
Saraswati : “Pada saat mengunjungi Viduratha dikau belum mencapai tahap
non-dual. Pada saat ini dikau telah menyatu dengan Sang Atma dan tidak bersifat
non-dual lagi. Dikau telah mencapai sankalpa yang benar. Seandainya dikau
mengunjungi Viduratha sekali lagi, maka ia akan sanggup menyaksikanmu”.
Leela
: “Pada saat ini aku sudah tidak berminat lagi terhadap hal-hal yang lainnya dan
hanya akan melakukan yang dikau perintahkan”.
Dewi
Saraswati : “Leela, dikau memiliki kelahiran dengan berbagai suami yang tak
terhitung banyaknya, aku dapat membawamu pergi ke mereka ini sesuai dengan
kehendakmu. Semesta yang terasa dekat bagimu pada tahap ini sebenarnya
berlokasi jutaan tahun dari tahap ini.
Ibarat
di dalam sebuah mimpi, kesadaran pengalaman (anubhawa chaitanya) ini
bermanifestasi sebagai alam-semesta, demikian juga Atma-satta memanifestasikan
Dirinya sebagai bumi, unsur-unsur, berbagai benda dan lain sebagainya.
Sesungguhnya Atam-satta tegar di dalam dirinya sendiri, tidak ada yang pernah
diciptakan”.
Leela
: “Melalui karuniamu, aku telah mencapai tahap Atmik, aku sudah tidak memiliki
hasrat apapun lagi.”
Sumber
referensi : http://ceritadewata.blogspot.com/
ARTIKEL TERKAIT: