Hantu Isara
Sungging Raga
16.55. Kereta
ini seperti tak sabar untuk segera mempertemukanku kembali dengan stasiun itu,
stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Sudah empat tahun berlalu sejak kutinggalkan
stasiun yang menurut banyak orang senantiasa bersimbah kenangan itu, sekarang
aku akan tiba dengan perasaan yang tidak lagi utuh, hanya gambaran-gambaran
masa lalu yang memang terkadang muncul, fragmen-fragmen penyesalan yang tentu
saja bukan sebuah ilusi, melainkan kenyataan yang tercatat pada kalender waktu
yang telah usang dan pucat pasi.
Kereta mulai
menurunkan kecepatannya sesaat sebelum melintasi palang pintu di bawah jembatan
layang. Aku berdiri di sisi pintu gerbong, merasakan embusan angin, seperti
kecemasan yang mendadak datang bertubi-tubi, serupa pertanyaan yang tiba-tiba
saja berdesakan dalam kepalaku. Untuk apa? Mau apa? Dalam rangka apa? Ingin
bertemu siapa?
Ya. Aku
sendiri tak tahu untuk apa aku datang ke Yogyakarta, kota di mana aku pernah
menghabiskan tujuh tahun kegagalan dalam diorama kesedihan sebagai mahasiswa.
Tujuh tahun di mana yang ada hanya rentetan peristiwa pilu, kesunyian kamar
kos, kepedihan yang berkarat pada trotoar dan papan-papan reklame. Namun toh
takdir adalah kereta khusus yang akan membawa kita kembali pada setumpuk
kenangan, mau tidak mau. Waktu memang menyedihkan, ia membuat kenangan indah
jadi pahit, dan yang pahit semakin pahit lagi.
Kali ini, aku
hanya membawa tas berisi dua potong pakaian, pertanda bahwa aku memang tidak
akan lama, sekadar singgah, sehari atau dua hari, sampai uangku hanya bersisa
untuk ongkos pulang. Apalagi yang harus kukerjakan di sini? Tak ada, selain
sekadar mengingat, semacam wisata kehilangan.
Kereta masih
bergerak perlahan, suara roda bergesekan dengan wesel, kulihat
kendaraan-kendaraan yang berhenti di belakang palang pintu, dan di bawah
jembatan layang itu, tepatnya di sisi utara, ternyata masih nampak ramai. Ada
banyak orang menyebar di hamparan yang memang khusus menjadi tempat strategis
untuk menikmati sore hari sambil menonton kereta, kulihat seorang perempuan
duduk menyuapi anaknya yang masih balita, kulihat sepasang remaja menikmati
bakwan kawi, kulihat pula ibu-ibu sibuk mengipas sate, pedagang angkringan dan
tukang becak bermain catur, juga beberapa bocah yang melambai ke arah kereta.
Namun, gadis itu tak ada lagi.
Ya. gadis
itu, Isara, gadis masa lalu yang menjadikan stasiun ini lebih melankolis, aku
tak melihatnya, dan memang lebih baik tak melihatnya.
Barangkali
Isara masih ada di kota ini, melanjutkan hidup sebagai mahasiswi, berhubungan
dengan teman-teman baru, atau kekasih baru. Segalanya tentu telah berubah.
Terkadang aku menyesal karena dahulu tak pernah sempat berkujung ke rumahnya meski
kami berhubungan sangat dekat, lebih dekat dari sepasang jarum jam pukul dua
belas.
“Kenapa aku
tidak boleh mengantarmu sampai ke rumah?” Tanyaku.
“Kakakku galak, nanti kamu ditanya macam-macam
bisa repot.”
Saat itu,
kami memang lebih sering bertemu di stasiun Lempuyangan, duduk di bawah
jembatan layang, menonton kereta api, membeli bakwan kawi, lalu pulang di saat
suasana berangsur sepi. Ketika sedang dalam keadaan semacam itu, kami tampak
seperti sepasang kekasih paling kekal di novel remaja, tapi ketika sedang
bertengkar, tiba-tiba kami menjadi jauh lebih rumit dari novel-novel sastra.
Namun ketika kami berpisah, stasiun ini tak tahu apa-apa.
Jadi, kenapa
tiba-tiba aku ingin melihatnya sekarang? Ah, kalaupun ia ternyata benar-benar
muncul di peron stasiun seperti tokoh dongeng, apa yang harus kukatakan
padanya? “Aku sengaja datang ke Yogya untuk mencarimu. Aku ingin tahu kabarmu.
Kukira kau sudah lupakan tempat ini.” Atau kubayangkan ia melambai padaku,
mengharapkan aku segera turun, lalu ia akan mengajakku duduk di salah satu
bangku, memberiku air mineral karena tahu aku sangat haus setelah perjalanan
yang begitu lama dan melelahkan…
Tidak. Itu
tidak mungkin. Hal terakhir yang masih terngiang hanya tangisannya di telepon
siang itu, beberapa jam setelah keretaku berangkat meninggalkan Yogyakarta.
Perpisahan kami tak terdaftar di stasiun Lempuyangan, kami telah bertengkar
semalaman, dan paginya udara seperti panas dalam. Namun ketika aku sedang
melamun sambil melihat keluar jendela kereta, tiba-tiba ia meneleponku.
“Kau bilang
tidak mau menghubungiku lagi.” Aku memulai pembicaraan.
“Aku punya
sesuatu yang penting untuk disampaikan.” Jawab Isara, suaranya terdengar lirih.
Apa ia menangis? Kenapa wanita suka menangis di telepon?
“Menyampaikan
apa?”
Ia tak
menjawab. Hanya suara sesegukan.
“Jawablah yang jelas, jangan menangis begitu.”
Ia masih
sesegukan.
“Kamu kapan kembali ke sini?” Ia justru balik
bertanya.
“Entahlah,
kau bilang perasaan kita sudah selesai, aku juga tidak kuliah. Jadi mungkin aku
akan lama di kampung.”
Dan ia terus
menangis, lalu telepon itu ditutupnya. Beberapa hari setelah itu ia tak bisa
dihubungi lagi, nomornya tak aktif. Begitukah seorang wanita? Selalu ingin
menghilang ketika seseorang mulai mencemaskannya?
***
16.58. Kereta
telah memasuki stasiun Lempuyangan dan akhirnya berhenti di jalur dua. Empat
tahun nyaris tak ada yang berubah kecuali kereta yang diberi AC sehingga
semakin mahal saja. Kulihat ada banyak penumpang turun, sebagian bahkan
langsung bertemu para penjemputnya. Aku sendiri menyeberang ke bagian utara
stasiun, tempat gerbong-gerbong tua ditelantarkan begitu saja. Kontras dengan
suasana stasiun yang ramai, suasana di bagian utara ini cenderung sepi. Aku
melangkah menyusuri rel yang sebagiannya mulai ditumbuhi rumput. Hingga
setibanya di ujung barat, di ujung rel mati, aku melihat seorang anak kecil
sedang ditarik-tarik oleh ibunya. Anak itu mengenakan kostum Arsenal.
“Ayo pulang
saja.”
“Tunggu, Ma. Masih ada kereta.”
“Sudah tidak ada. Itu kereta yang terakhir.
Ayo nanti tidak ada bis kota lagi.”
Wanita itu
terus berusaha menyeret-nyeret anaknya. Ia sempat sekilas menoleh kepadaku,
kemudian kembali sibuk dengan anaknya lagi. Saat itu, aku ingat salah satu
ucapan Isara setiap kali kami berkunjung kemari,
“Sepertinya
sudah sore, aku takut tidak dapat bis untuk pulang.”
Ah,
menyedihkan sekali kalau masa lalu muncul lengkap dengan dialognya. Kulihat
anak itu masih meronta, ia terlepas dari genggaman ibunya, dan justru berlari
ke arahku. Aku berhenti di depannya.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Mama ngajak pulang.”
Wanita itu
lantas memandangku dengan tatapan yang datar, “Maaf ya.”
“Tidak apa-apa.” Jawabku.
“Anak ini rewel sekali. Inginnya nonton kereta
sampai malam.”
“Oh, suka kereta api?”
“Ya. Ayahnya jadi masinis.”
Wanita ini
begitu asing, tapi mungkin karena sentimentalisme tersendiri, aku selalu
membayangkan setiap wanita yang hadir di Lempuyangan adalah wanita-wanita
kesepian. Wanita-wanita yang ditinggalkan.
Matahari
mulai terbenam, senja tertutupi gedung-gedung hotel. Aku masih terjebak di
antara ibu dan anak ini.
“Ayo pulang, besok ke sini lagi.”
“Tidak mau, sebentar lagi, Ma.”
“Sudah hampir gelap. Nanti didatangi hantu
Isara lho.”
Ucapan ibunya
kali ini membuatku terkejut. “Hantu Isara?” Aku segera memotongnya.
“Eh, iya.” Wanita itu menoleh.
“Siapa itu?”
“Ah, tidak,
cuma untuk menakut-nakuti saja.” Dan tampak anak itu pun langsung terdiam.
“Tunggu dulu. Siapa itu hantu Isara?” Aku
semakin penasaran.
“Itu ya. Itu
hantu yang dikenal orang-orang sekitar sini. Beberapa tahun lalu di stasiun ini
ada perempuan hamil yang ditabrak kereta, seperti kecelakaan, tapi sebagian
orang bilang bunuh diri. Perempuan itu bernama Isara. Anda belum tahu ya? Sejak
kejadian itu, stasiun Lempuyangan jadi angker kalau malam.”
Aku
menggeleng, tak menjawabnya. Wanita itu lantas menggendong anaknya, ajaib, anak
itu jadi sangat penurut setelah ditakut-takuti semacam itu. Kulihat mereka
melangkah ke arah pos pintu perlintasan.
Semua ini
cuma fiksi, barangkali, kulihat ke seberang, tampak lampu-lampu Lempuyangan
mulai dinyalakan. Aku duduk sendirian di salah satu besi rel yang terasa sangat
dingin. Kubayangkan sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin bisa kubayangkan.
“Isara, apa
karena itu kau bertanya kapan aku kembali ke sini?” Gumamku.
Setelah
bertahun-tahun berlalu, kukira stasiun ini tidak bisa lebih sedih lagi.
Sungging Raga, Cerpenis dan Penyair.
Blognya http://surgakata.wordpress.com/ Twitter: @sunggingraga Fb: Sungging
Raga
Sumber :
http://ceritapendekhoror.blogspot.com/
ARTIKEL TERKAIT: