Keledai
Cerpen Dedy
Tri Riyadi (Koran Tempo, 6 April 2014)
LELAKI tua
itu memandang ke arah jalan yang ramai di luar jendela. Di jalanan, entah
karena apa, banyak sekali orang seperti sedang menunggu sesuatu yang akan
lewat. Mungkin karnaval atau seorang pembesar akan datang ke kota ini. Tangan
lelaki itu kelihatan sedikit gemetar ketika mengambil secawan anggur di atas
meja di dalam kedai ini. Ketika dia hendak minum, matanya bertumbuk dengan
mataku yang dari tadi memperhatikan gerak-geriknya.
“Ayo, minum,”
katanya seolah mengajaknya ikut minum bersamanya.
“Silakan,”
sahutku singkat sedikit tersipu karena aku merasa tertangkap basah olehnya
mengamati dia.
Sebelum dia
berkata lagi, karena aku melihat dia seperti seorang yang tengah gelisah, aku
buru-buru bertanya kepadanya, “Dari mana Bapak?”
Setelah
menyesap minumannya dan mengelap sisa anggur di sudut bibirnya dengan ujung lengan
jubahnya, dia menjawab, “Tidak jauh dari kota ini. Saya hanya mampir untuk
memberikan sesuatu kepada seseorang di kota ini.”
“Mengantar
barang?” aku menyelidik.
“Bukan.
Bukan. Bukan mengantar. Yang saya bawa adalah seekor keledai muda. Itu saya tambatkan
dekat dengan keledai betina induknya di sebelah sana.”
Dia menunjuk
ke tambatan di depan kedai, di mana biasanya orang menambatkan kuda atau unta.
“Oh. Jadi
yang Bapak antar adalah keledai muda itu. Untuk siapa Pak?” Tanyaku lagi.
Penasaran.
“Aku tak
tahu.”
Aku heran
dengan jawabannya. Bagaimana bisa dia diminta mengantar seekor keledai muda ke
kota ini tetapi dia tidak tahu kepada siapa.
“Bagaimana
bisa begitu, Pak? Tak mungkin Bapak mau memberikan keledai itu tetapi tidak
tahu kepada siapa.”
Aku tertawa
setelah melontarkan pertanyaan itu. Baru kali ini, di kota ini, kutemukan
tindakan yang menurutku sangat bodoh. Tindakan lelaki tua itu.
“Begini, Nak.
Ketika keledai betinaku beranak, aku seperti mendapat firasat bahwa anak
keledaiku itu akan menjadi sesuatu yang membanggakan bagi diriku nanti.”
Lagi aku
tertawa. Bagaimana seekor anak keledai bisa membuat bangga seseorang? Keledai
lebih kecil daripada kuda atau unta. Harga seekor keledai tidak sebanding
dengan keduanya. Belum lagi lari dan ketahanannya yang, jika melintasi padang
gurun, tak sepadan jika dibandingkan dengan kuda atau unta. Lagi pula, keledai
biasanya hanya untuk mengangkut barang atau menarik gerobak kecil. Apa lagi
yang bisa dibanggakan dari seekor keledai? Belum lagi keledai terkenal keras
kepala dan suka melawan empunya.
Tapi
perkataan lelaki tua itu membuatku mengamati dari jendela kedai ini kira-kira
apa yang membuat istimewa dari keledai muda milik lelaki tua itu. Perawakannya?
Warna kulitnya? Ah. Menurutku tidak ada yang istimewa.
“Akan kau
jual berapa, Pak? Mungkin ada temanku memerlukannya.”
Lelaki tua
itu memandangiku tajam.
“Aku tidak
jual keledai itu,” tukasnya.
“Katamu tadi
kau hanya membawa keledai muda itu dari tempatmu ke kota ini. Sedang untuk
siapa keledai itu hendak diserahkan kau tidak tahu.”
“Ya. Benar
begitu.”
“Nah. Kalau
begitu, anggaplah yang hendak kau serahi keledai itu adalah aku. Bagaimana?”
Lelaki tua
itu terdiam. Tampaknya pengandaianku bahwa aku adalah pihak yang harus diserahi
keledai muda itu mulai merasuki pikirannya.
“Ya. Bisa
saja begitu, sebenarnya,” katanya.
Sambil
mengibaskan tangannya mengusir lalat yang berada di sebelah kanan mukanya, dia
berkata lagi, “Tapi aku tidak yakin bahwa kau adalah dia yang harus kuserahi
keledai milikku.”
“Kenapa
tidak?” Aku penasaran kenapa dia tiba-tiba berkata begitu.
“Kau tahu
tentang Tuhan?”
Pasti. Aku
seorang Yahudi tulen. Sejak kecil aku mendapatkan pengajaran agama dan untuk
menguatkan pengertian tentang Tuhan, aku juga mendapatkan cerita-cerita tentang
jaman nenek moyang mengenai tuntutan bangsa Yahudi untuk bisa melihat dengan
mata kepala sendiri—seperti Musa—bagaimana wujud dari Tuhan itu. Jadi
pertanyaan lelaki tua itu seperti ejekan bagiku.
“Ya. Aku tahu
dan patuh pada Tuhanku.”
Dia tersenyum
dan menyesap sekali lagi anggurnya.
Usai
meletakkan cawannya, jari telunjuknya mengarah kepadaku.
“Percaya?”
Ya. Jelas aku
percaya dengan Tuhan. Lalu apa hubungan pertanyaan dia dengan keledai muda itu?
Aku hanya mengangguk daripada menjawabnya dengan kata-kata yang mungkin akan
membuatnya melempar lagi pertanyaan yang lainnya.
“Nah. Aku
juga percaya Tuhan yang membuat aku pergi ke kota ini untuk menyerahkan keledai
muda milikku.”
Tunggu! Aku
masih belum mampu menghubungkan cerita bahwa dia mendapatkan firasat bahwa anak
keledainya akan menjadi sesuatu yang membanggakan dirinya, dengan peristiwa
hari ini bahwa dia membawanya ke kota ini untuk diserahkan kepada seseorang.
Lebih membingungkan lagi jika semua itu kukaitkan dengan penolakannya akan keinginanku
untuk membeli keledainya itu.
Ketika aku
sampaikan kebingunganku, dia menjawab dengan hati-hati seperti hampir berbisik,
“Kau bermaksud membeli sedangkan aku harusnya menyerahkan begitu saja. Itulah
sebabnya aku bisa tahu bahwa bukan kau yang harus aku serahi keledai itu.”
“Jadi pihak
yang akan diserahi keledai itu adalah orang yang tiba-tiba minta keledai itu
kepadamu? Begitu maksud Bapak?” aku bertanya, hendak menghapus rasa
penasaranku.
“Begitulah.”
“Nah,
bagaimana jika aku minta keledai itu kepadamu sekarang?” aku memancing.
Tiba-tiba dia
tertawa terkekeh-kekeh.
“Kau lucu,
anak muda. Sungguh lucu. Tadi kau bilang hendak membeli keledai muda itu,
sekarang kau bermaksud memintanya. Apakah dengan begitu kau bermaksud
melecehkan keyakinanku akan Tuhan yang memintaku membawa keledai itu kemari?”
Aku meneguk
minumanku. Sialan! Kenapa aku dibilang olehnya melecehkan keyakinannya pada
Tuhan? Meskipun aku menggodanya untuk menyerahkan keledai miliknya kepadaku,
tapi sesungguhnya aku bermaksud menguji takdirku hari ini. Siapa tahu Tuhan
bermurah hati memberiku rejeki berupa seekor keledai muda dengan cuma-cuma.
Keledai yang akan aku jual untuk mendapatkan uang lebih banyak daripada
berjualan merpati di pelataran Kuil Suci di kota ini.
Berjualan
merpati seperti itu memang cukup memberiku makan sehari-hari, tapi sebenarnya
ingin aku tinggalkan pekerjaan itu. Karena merpati hanyalah hewan persembahan
dan hewan sembelihan bagi orang miskin saja.
Ah! Kenapa
aku jadi teringat cerita Simeon tua yang bertemu dengan dia yang kini banyak
dibicarakan orang sebagai guru itu? Dia dulu adalah seorang anak yang
diserahkan ibunya ke Kuil Suci dengan persembahan dua ekor merpati. Katanya,
hari ini dia akan datang ke kota ini setelah lama berkelana ke seluruh penjuru negeri
setelah tidak diterima oleh orang-orang di tanah kelahirannya, Nazareth.
“Hei. Kenapa
melamun?” tegur Pak Tua pemilik keledai itu.
“Ah. Tidak!
Aku hanya teringat kisah tentang seorang guru yang dulu pernah mempersembahkan
dua ekor merpati. Mungkin seperti itu yang akan terjadi kepadamu sekarang ini
saat engkau menyerahkan keledai muda itu.”
“Hahaha. Aku
hanya seekor petani saja. Tak pandai seperti anak muda yang kau ceritakan itu.
Dia itu ahli kitab. Segala macam kitab para nabi dijelaskannya semua kepada
orang-orang. Bahkan para ahli kitab lain pun tak ada yang menyamainya.”
“Kau tahu
tentang dia juga?”
“Orang sudah
banyak membicarakannya. Dia juga pernah mengajar di kampungku.”
“Apakah kau
pernah mendengarkan pengajarannya? Aku mendengar kabar bahwa dia seorang
penghasut yang hendak memerdekakan bangsa Yahudi dari cengkeraman Romawi.”
Dia terkekeh
cukup lama dan itu membuatku merasa ada yang lucu dari perkataanku.
“Yang aku
dengar dari orang-orang itu cuma satu hal saja, dan itu berkenaan dengan
keledai, hewan yang aku ternakkan. Katanya, orang kaya sulit masuk surga.
Ibarat seekor keledai hendak melewati lubang jarum.”
Mendengar hal
itu, aku juga ikut tertawa. Kami tertawa bersama-sama sebelum datang dua orang
yang tampak sangat terburu-buru.
“Keledai
siapa itu di sana?” tanya salah satunya kepada kami semua yang ada di kedai.
Aku melirik Pak Tua. Dia kelihatan bingung sebelum akhirnya bangkit bersuara.
“Itu
keledaiku. Ada apa dengannya?”
“Guruku
bilang, dia membutuhkannya.”
“Guru?”
“Ya. Guru
kami. Dia menyuruh kami ke sini untuk mengambil keledai itu. Salah satu dari
keledai itu, tepatnya. Yang masih muda.”
Pak Tua itu
buru-buru mendekati mereka. Kemudian dia dan dua orang itu tampak berbicara
dengan sungguh-sungguh dengan suara yang begitu pelan sehingga aku tak bisa
menguping pembicaraan mereka. Tak lama kemudian dia sudah kembali bergabung
denganku di meja kedai, sementara dua orang itu segera pergi ke luar, melepas
ikatan tambatan keledai anakan itu lalu membawanya pergi.
“Heh. Ada-ada
saja,” celetuk Pak Tua itu mengagetkanku.
“Kenapa
memang?”
“Mungkin ini
yang dikatakan sebagai jalan Tuhan. Baru saja kita berbincang perihal orang
yang mengatakan bahwa orang kaya akan susah masuk surga seperti seekor keledai
masuk lubang jarum. Ternyata dia yang menyuruh dua orang tadi untuk mengambil
keledaiku.”
“Lalu apanya
yang aneh jika kau mengatakannya sebagai jalan Tuhan?”
“Ya. Tadi aku
bertanya kepada mereka mengapa dia masih membutuhkan keledai sementara dia
membuat perumpamaan yang tidak baik itu dengan keledai. Toh, keledai juga
makhluk Tuhan. Mungkin, ini cara Tuhan menegur dirinya. Jangan sembarangan
menganggap buruk makhluk ciptaan-Nya karena suatu saat kau pasti
membutuhkannya.”
Aku tertawa
dan manggut-manggut. Perkataan Pak Tua itu masuk akal juga. Dan mendengar hal
itu, aku jadi menghentikan niatku untuk berhenti sebagai penjual merpati.
Selama ini, dengan berjualan merpati aku bisa menghidupi keluargaku meskipun
kami terus berkekurangan.
“Lalu
bagaimana dengan keledaimu itu?”
“Aku minta
dikembalikan lagi setelah selesai dipinjam.”
“Hah?
Bukannya kau jauh-jauh datang untuk menyerahkan keledaimu pada seseorang karena
Tuhan?”
Dia terdiam,
mengambil cawan anggurnya lalu meminumnya, dan berkata, “Aku percaya bahwa aku
jauh-jauh datang ke sini tidak untuk merugi. Lagi pula dua orang tadi itu
berjanji akan mengembalikannya. Mungkin Tuhan mengubah rencananya pada keledai
muda itu.”
Jakarta, Februari 2014
Keledai
Cerpen Dedy Tri Riyadi (Koran Tempo, 6
April 2014)
Dedy Tri Riyadi bergiat di Paguyuban
Sastra Rabu Malam (PaSaR Malam) di Jakarta.
Sumber : http://lakonhidup.wordpress.com/
ARTIKEL TERKAIT: