“Sajak Kenalan Lamamu”
Karya : W.S. Rendra
Kini
kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu
apa pula,
kita
memang pernah berjumpa.
Sambil
berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet
oleh penumpang berjubel,
Dari
Yogya ke Jakarta,
aku
melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan
alas kertas koran,
sambil
memeluk satu anakmu,
sementara
istrimu meneteki bayinya,
terbaring
di sebelahmu.
Pernah
pula kita satu truk,
duduk
di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil
meremasi tetek tengkulak sayur,
dan
lalu sama-sama kaget,
ketika
truk tiba-tiba terhenti
kerna
distop oleh polisi,
yang
menarik pungutan tidak resmi.
Ya,
saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna
sama-sama anak jalan raya.
……………………………
Hidup
macam apa ini !
Orang-orang
dipindah kesana ke mari.
Bukan
dari tujuan ke tujuan.
Tapi
dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
…………………….
Kini
kita bersandingan, saudara.
Kamu
kenal bau bajuku.
Jangan
kamu ragu-ragu,
kita
memang pernah bertemu.
Waktu
itu hujan rinai.
Aku
menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat
pada waktu kamu juga menariknya.
Kita
saling berpandangan.
Kamu
menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku
membuka mulut,
hendak
berkata sesuatu……
Tak
sempat !
Lebih
dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam
pandangan mata berkunang-kunang,
aku
melihat kamu
membawa
helaian plastik itu
ke
satu gubuk karton.
Kamu
lapiskan ke atap gubugmu,
dan
lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus
nasi yang dicuri,
itulah
santapan.
Kolong
kios buku di terminal
itulah
peraduan.
Ya,
saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena
kita anak jadah bangsa yang mulia.
………………….
Hidup
macam apa hidup ini.
Di
taman yang gelap orang menjual badan,
agar
mulutnya tersumpal makan.
Di
hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar
pantatnya diganjal sedan.
……………..
Duabelas
pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan
intan permata di sekitar putingnya.
Dan
di bawah semuanya,
celana
dalam sutera warna kesumba.
Ya,
saudara,
Kita
sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu
apa pula
kita
memang pernah berjumpa.
Kita
telah menyaksikan,
betapa
para pembesar
menjilati
selangkang wanita,
sambil
kepalanya diguyur anggur.
Ya,
kita sama-sama germo,
yang
menjahitkan jas di Singapura
mencat
rambut di pangkuan bintang film,
main
golf, main mahyong,
dan
makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
………..
Hidup
dalam khayalan,
hidup
dalam kenyataan……
tak
ada bedanya.
Kerna
khayalan dinyatakan,
dan
kenyataan dikhayalkan,
di
dalam peradaban fatamorgana.
……….
Ayo,
jangan lagi sangsi,
kamu
kenal suara batukku.
Kamu
lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya,
memang aku. Temanmu dulu.
Kita
telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran
meniduri gula-gulanya,
dan
mengintip ibumu main serong
dengan
ajudan ayahmu.
Kita
telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak
valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan
akhirnya menggeletak di emper tiko,
di
samping kere di Malioboro.
Kita
alami semua ini,
kerna
kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
…..
Hidup
melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan
mendukung kita serupa ganja…..
meninggi….
Ke awan……
Peraturan
dan hukuman,
kitalah
yang empunya.
Kita
tulis dengan keringat di ketiak,
di
atas sol sepatu kita.
Kitalah
gelandangan kaya,
yang
perlu meyakinkan diri
dengan
pembunuhan.
………..
Saudara-saudara,
kita sekarang berjabatan.
Kini
kita bertemu lagi.
Ya,
jangan kamu ragu-ragu,
kita
memang pernah bertemu.
Bukankah
tadi telah kamu kenal
betapa
derap langkahku ?
Kita
dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari
mobil-mobil,
melambaikan
poster-poster,
dan
berderap maju, berdemonstrasi.
Kita
telah sama-sama merancang strategi
di
panti pijit dan restoran.
Dengan
arloji emas,
secara
teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang,
berunding di larut kelam,
sambil
mendekap hostess di kelab malam.
Kerna
begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
Politik
adalah cara merampok dunia.
Politk
adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk
menikmati giliran berkuasa.
Politik
adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari
becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu
ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik
adalah festival dan pekan olah raga.
Politik
adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan
bila ada orang banyak bacot,
kita
cap ia sok pahlawan.
………………………..
Dimanakah
kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah
trompah kayu di muka pintu ?
Di
hari-hari yang berat,
aku
cari kacamataku,
dan
tidak ketemu.
………………
Ya,
inilah aku ini !
Jangan
lagi sangsi !
Inilah
bau ketiakku.
Inilah
suara batukku.
Kamu
telah menjamahku,
jangan
lagi kamu ragau.
Kita
telah sama-sama berdiri di sini,
melihat
bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung
yang kelabu membara,
kapal
terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di
putar blue-film di dalamnya.
…………………
Kekayaan
melimpah.
Kemiskinan
melimpah.
Darah
melimpah.
Ludah
menyembur dan melimpah.
Waktu
melanda dan melimpah.
Lalu
muncullah banjir suara.
Suara-suara
di kolong meja.
Suara-suara
di dalam lacu.
Suara-suara
di dalam pici.
Dan
akhirnya
dunia
terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna
nilon dan plastik.
Warna-warna
seribu warna.
Tidak
luntur semuanya.
Ya,
kita telah sama-sama menjadi saksi
dari
suatu kejadian,
yang
kita tidak tahu apa-apa,
namun
lahir dari perbuatan kita.
Yogyakarta, 21 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
(http://zhuldyn.wordpress.com)
Puisi WS. Rendra “Sajak Kenalan
Lamamu”
Karya : W.S. Rendra
ARTIKEL TERKAIT: