Legenda Tanjung Puri
dan
Tangisan Putri Galuh Sewangi
Ditulis oleh : Gusti Indra Setyawan
Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong
Kalimantan Selatan
Dahulu
kala ada kerajaan bernama Kerajaan Tanjung Puri. Rajanya bernama Raja Halim
Mangku Praja, permaisurinya Atika Rara Dirana. Raja dan permaisurinya baik
hati. Mereka mempunyai dua putri yang cantik jelita: si sulung bernama Putri
Roro Sulastri, si bungsu Putri Galuh Sewangi. Kedua putri itu berbeda sekali
perangainya. Putri Roro Sulastri berwatak keras, angkuh dan sombong. Putri
Galuh Sewangi lemah lembut, baik dan rendah hati.
“Anakku,
kalian sudah mulai dewasa. Sudah saatnya kalian mencari pendamping hidup. Ayah
sudah tua. Takkan selamanya ayah menjadi raja di kerajaan ini,” kata baginda
kepada kedua putrinya.
“Ya,
Ayahanda…,” sahut Putri Galuh Mewangi dengan lemah-lembut.
“Walaupun
nanti Ayahanda tak ada lagi, tapi siapa yang lebih kaya dari kita? Sepeninggal
ayahanda, kami tak akan kelaparan. Aku tak mau kawin dengan rakyat biasa,”
Putri Roro Sulastri menimpali pembicaraan ayahnya dengan sombong.
“Jangan
menilai orang dari harta, pangkat dan kedudukannya saja, Roro. Lihatlah
hatinya,” sahut ayahnya.
Pandangan
hidup dua putri itu amat bertolak belakang. Putri Roro Sulastri menganggap
nasihat ayahnya hanya sebagai angin lalu, sedangkan Putri Galuh Sewangi
mencamkannya benar-benar, dan dalam hati berjanji akan mematuhinya.
Berkat
abdi kerajaan yang setia mendampingi dan memberikan petuah, ilmu dan pendidikan
kepada dua orang putri raja itu, tersohorlah nama mereka ke mana-mana. Pangeran
dari kerajaan seberang mendengar, bahwa Kerajaan Tanjung Puri memiliki dua
orang putri yang cantik rupawan. Di kalangan rakyat jelata pun, nama kedua
putri itu sudah tidak asing lagi.
Beberapa
bulan kemudian, Raja Halim Mangku Praja jatuh sakit. Kepada kedua putrinya, ia
beramanat:
“Anak-anakku,
sebelum meninggalkan kalian, kuharap kalian sudah punya suami, sebagai pendamping
hidup kalian kelak,” kata Raja Halim, terbatuk-batuk menahan sakit.
Dilanda
kesedihan, air mata Putri Galuh Sewangi menetes perlahan. Putri Galuh Sewangi
amat mencintai ayahnya. Hati kecilnya berkata, kalau ada orang yang dapat
menyembuhkan sakit ayahnya, jika perempuan akan dijadikannya saudara, kalau
laki-laki akan dijadikannya suami.
Lain
Putri Galuh Sewangi, lain pula Putri Roro Sulastri. Putri sulung itu lebih suka
berdandan dan berpesta, tak peduli apa pun yang terjadi, termasuk penyakit
ayahnya sendiri. Wajahnya tak sedikit pun memancarkan kesedihan.
Dengan
napas satu-satu dan sisa semangat hidupnya, Raja Halim bertitah kepada punggawa
kerajaan, “Pengawal! Umumkan ke pelosok negeri, bahwa aku akan mengawinkan
kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Soal syarat, kuserahkan
sepenuhnya kepada mereka untuk menentukannya…”
Rakyat
kerajaan ramai membicarakan dua putri raja itu. Dalam suasana duka, saat
baginda raja sedang sakit, para pemuda dan rakyat jelata berbisik-bisik
membicarakan kecantikan dua putri raja itu.
“Duhai,
Putri Roro dan Putri Galuh, maukah kau menjadi istriku?” kata seorang pemuda
kampung kepada teman-temannya.
“Alaaahhh…
Mana mau putri raja sama kamu?!”
“Jangan
bercermin di kaca yang retak!” sahut yang lain.
“Terserah
akulah. Memangnya, mengkhayal dilarang?”
“Ya,
tidak. Terserah kamulah, asal jangan sampai gila saja!” sahut temannya yang
lain lagi.
Tak
lama berselang, datang beberapa pengawal kerajaan, mengumumkan titah raja.
Pengawal membacakan titah yang ditulis langsung oleh Raja Halim Mangku Praja.
“Wahai,
rakyat Kerajaan Tanjung Puri… Pengumuman, pengumuman…! Aku, Raja Halim Mangku
Praja, akan menikahkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Barang
siapa yang ingin mengikuti sayembara ini, silakan datang ke istana untuk
mengetahui syaratnya. Tertanda, Raja Halim Mangku Praja…”
Sepekan
setelah pengumuman, tak seorang pun berani datang untuk meminang dua putri Raja
Halim Mangku Praja. Bukannya warga tak tertarik, tapi mereka sadar diri.
Sementara
itu, penyakit Raja Halim Mangku Praja semakin sehari semakin memburuk. Beberapa
tabib terkenal sudah didatangkan, tapi tak seorang pun mampu menyembuhkan
penyakitnya.
Di
Kampung Haruai, dekat Kerajaan Tanjung Puri, ada pemuda yang berniat datang ke
istana untuk meminang putri raja. Pemuda itu buruk rupa. Karena wajahnya jelek
sekali, senyumannya bukannya enak dipandang, malahan membuat takut orang.
Pemuda itu bernama Joko Jaroli.
Di
kerajaan seberang, ada pula putra mahkota bernama Pangeran Hanung Prabu Cakra.
Wajahnya tampan, bijaksana dan ramah. Pangeran Hanung juga beniat mempersunting
putri Kerajaan Tanjung Puri. Kepergian Hanung dikawal sejumlah prajurit.
Hampir
bersamaan, tibalah kedua pemuda itu di istana Kerajaan Tanjung Puri. Merekaa
terpukau dengan kecantikan Putri Roro Sulastri dan Putri Galuh Sewangi.
“Wahai,
Putri Galuh Sewangi… Aku ingin jadi pendamping hidupmu,” kata Pangeran Hanung
dengan percaya diri.
“Sebentar,
Pangeran Hanung. Ada syarat yang harus engkau penuhi. Apabila pangeran dapat
menyembuhkan penyakit ayahandaku, aku bersedia jadi istrimu,” sahut Putri Galuh
Sewangi.
Pangeran
Hanung mengobati Raja Halim Mangku Praja dengan membacakan mantra. Tapi,
setelah beberapa kali berusaha, penyakit raja tak kunjung sembuh. Dengan
menahan rasa malu, penuh sesal dan kecewa, ia mundur ke belakang.
Giliran
Joko Jaroli dipanggil. Setelah mengucapkan mantra, air suci yang dibawanya
direguk dan disemburkannya ke sekujur tubuh raja. Ajaib, seketika Raja Halim
Mangku Praja duduk di tempat tidur dan sembuh dari sakitnya.
Sesuai
janjinya, dengan tulus iklas Putri Galuh Sewangi menerima Joko Jaroli sebagai
suaminya, menerimanya apa adanya. Pangeran Hanung mengakui kekalahannya, tapi ia
tak sudi menyunting Putri Roro Sulastri. Meskipun cantik, tabiat Putri Roro
Sulastri yang buruk membuat Pangeran Hanung kehilangan selera.
“Maafkan
aku, Putri Roro! Aku tak suka dengan sifatmu yang suka menghina dan merendahkan
orang lain,” tampik Pangeran Hanung.
“Mengapa
kau tidak mau denganku? Aku cantik dan kaya raya. Semuanya sudah kumiliki.
Siapa yang bisa menyaingiku?” sahut Putri Roro.
“Nah,
kesombonganmu itulah yang yang membuat aku tidak suka.”
Mandengar
jawaban itu, Putri Roro marah dan memaki-maki Pangeran Hanung beserta prajurit
dan dan orang-orang di sekitarnya.
“Kurang
ajar! Dasar buaya, kamu, Pangeran Hanung! Bidawang! Timpakul! Kamu juga, Joko!
Kamu jelek, bau, dekil, berkurap, buaya danau! Aku tak sudi jadi kakak iparmu!”
Putri
Galuh Sewangi hanya dapat menangis melihat sifat kakaknya yang tetap angkuh dan
sombong, apalagi saat menghina calon suaminya, Joko Jaroli.
Seketika
itu pula, di siang bolong itu, tiba-tiba petir membahana membelah angkasa.
Suara gemuruh terdengar di kejauhan, makin lama makin mendekat. Tiba-tiba,
tiang-tiang istana retak, tumbang dan roboh. Pepohonan di alun-alun tumbang
berjatuhan, tanah dan bumi rekah dan terbelah.
Semua
orang panik dan menjerit ketakutan, berlarian lintang pukang meninggalkan
istana. Jerit tangis dan teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. Rakyat
Kerajaan Tanjung Puri panik dan tak berdaya di tengah bencana yang mengamuk
membabi buta. Gelombang banjir selama berhari-hari menyapu dan meluluhlantakkan
istana, bangunan, kampung-kampung dan permukiman seluruh warga kerajaan.
Alkisah,
Kerajaan Tanjung Puri pun musnah.
Yang
tersisa kemudian hanya sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Objek Wisata
Tanjung Puri. Air danaunya konon berasal dari air mata Putri Galuh Sewangi.
Setiap malam Jumat, di danau itu konon kadang tercium bau wangi.
Konon,
danau itu dihuni buaya dan bidawang yang besar sekali, tapi orang-orang
tertentu saja yang dapat melihatnya. Ada juga tabu yang masih dipercaya oleh
sebagian warga. Pasangan yang akan menikah, konon tabu datang ke sana, kalau
tak ingin kapuhunan , karena dikariau buaya.
Sumber :
Buku Cerita Rakyat
Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan
Selatan
ARTIKEL TERKAIT:
Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Pangeran Biawak Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Anak Pipit dan Kera Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Asal Mula Nama Jaro Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Datu Pintit Cerita Rakyat kalimantan Selatan
- Legenda Gunung Halat Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Utuh Talungkup wan Pilanduk Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Ledakan Tiga Biji Limpasu Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Asal Mula Kisah Kambing Takutan lawan Banyu Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Asal Mula Nama Kampung Liang Tapah Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Puhun Binjai wan Puhun Jingah Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Kota Tanjung Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
- Si Pujung Jadi Batu Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Si Diang Bakut Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Legenda Arya Tadung Wani Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
Cerita Rakyat
- Pangeran Biawak Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Legenda Bukit Kelam Cerita Rakyat Kalimantan Barat
- Legenda Dewi Padi Cerita Rakyat Jawa Barat
- Putri Tangguk Cerita Rakyat Jambi
- Legenda Klentheng Ancol Cerita Rakyat DKI
- Asal Usul Nama Bali Cerita Rakyat Bali
- Kisah Leela dan Dewi Saraswati Cerita Rakyat Bali
- Raksasa Kala Rahu Menelan Bulan Cerita Rakyat Bali
- Jayaprana Dan Layonsari Cerita Rakyat Bali
- Timun Emas Cerita Rakyat Jawa Tengah
- Asal Mula Nama Irian Cerita Rakyat Papua
- Aji Saka Cerita Rakyat Jawa Timur
- Hikayat Cabe Rawit Cerita Rakyat Aceh Selatan
- Atu Belah Cerita Rakyat Gayo Aceh
- Anak Pipit dan Kera Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Asal Mula Nama Jaro Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Datu Pintit Cerita Rakyat kalimantan Selatan
- Legenda Gunung Halat Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Utuh Talungkup wan Pilanduk Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Ledakan Tiga Biji Limpasu Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Asal Mula Kisah Kambing Takutan lawan Banyu Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Asal Mula Nama Kampung Liang Tapah Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Puhun Binjai wan Puhun Jingah Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
- Kota Tanjung Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
- Si Pujung Jadi Batu Cerita Rakyat Kalimantan Selatan