Suminten
Suminten
mau membuka seluruh bajunya di hadapanku. Kukatakan tidak usah.
“Kan Bapak harus liat semua bekas pukulan itu.”
“Tapi tak perlu semuanya. Yang saya lihat sudah cukup meyakinkan.” Ia
membetulkan lagi bajunya, lalu duduk.
“Sudah berapa lama kerja sama dia?”
“Setahun lebih.”
“Ya. Kalau tidak dipukuli, paling tidak dicaci maki habis-habisan. Saya
seperti tak ada harganya lagi.”
“Oo, ya, Nona siapa?”
“Howeida.”
“Memang belum kawin?”
“Kawin sih sudah, nikah barangkali yang belum,” ia sambil tersenyum. Aku
pura-pura kurang memperhatikan. Dapat juga ia melucu dan sedikit nakal. Kusuruh
seorang pembantuku untuk membelikan sarapan. Setelah
kutanya ia bilang, sejak dari tadi ia belum makan pagi.
* * *
Kadang-kadang
aku memang jengkel juga menangani hal-hal yang seperti itu. Sebenarnya itu
bukan tugasku. Tapi karena apartemenku hanya beberapa puluh meter dari kantor,
aku yang selalu kebagian getahnya. Hari ini hari libur. Biasanya aku tidur
sampai agak siang. Namun tadi pagi masih cukup gelap bel pintuku sudah
berdering-dering terus. Bukan itu saja. Karena aku purapura tidak mendengar dan
membiarkan bel itu terus berbunyi, akhirnya pintuku juga digedor. Aku bangkit
dan membuka pintu.
“Ada apa sih, pagi-pagi buta begini?” kataku jengkel.
“Maaf Tuan, saya terpaksa gedor pintu Anda. Seperti biasa, seorang TKW
melarikan diri. Ia ketakutan sekali, dan sebaiknya Anda datang menemuinya
walaupun hanya sebentar.”
“Fakih tidak ada?”
“Sudah saya telepon tadi. Tapi kata pembantunya, ia sekeluarga sudah
berangkat ke luar kota.”
“Pak Gatot?”
“Juga sama.”
Busyet! Pikirku sambil menggerutu sendiri. Tentu mereka ke pantai. Tak
ada sempat lagi dalam musim panas begini. Karena aku satu-satunya yang ada
dalam satu kantor, akulah yang dipanggil. Penjaga itu memang tak salah, ia
hanya menjalankan tugas.
* * *
Seperti
biasa, aku datang sambil bersungut-sungut. Menyuruh orang itu duduk di kursi
berhadapan denganku. Tanya namanya, Suminten. Mengapa lari dari majikan, ia
bilang, sudah tak tahan lagi karena selalu dicaci maki dan dipukuli. Sudah
berapa lama tiba di sini? Baru beberapa bulan. Sebelumnya di Jedah. Di sana
semua saudara majikannya juga memukulinya. Bangsat! Pikirku, manusia mereka
anggap seperti anjing saja mentang-mentang mereka punya duit berlimpah. Gaji
selalu dibayar penuh? Kalau soal gaji sih baik, tetapi sekali lagi saya selalu
dipukuli. Lalu ia membuka lengannya, pertama yang kanan,kemudian yang kiri.
Menyusul kemudian bahu, lalu punggung, lalu betis kanan dan kiri. Tambah ke
atas, lutut, ke atas sedikit, lalu ia mau membuka seluruh tubuhnya dengan
begitu polos seperti seorang bocah. Kukatakan tidak usah. Bekas-bekas pukulan
itu memang jelas sekali dan seperti juga mengiris-ngiris kulitku. Kusuruh ia
istirahat dulu di sebuah kamar di basement kantor yang memang sering digunakan
untuk itu, setelah kubelikan makan pagi.
* * *
Aku
kembali ke rumah untuk melanjutkan sedikit lagi tidurku yang terganggu tadi.
Kasihan juga, pikirku. Usianya yang sudah tidak dapat dikatakan muda lagi,
tubuhnya yang agak kurus kering dan wajahnya yang begitu melas dan kuyu. Aku
ingat ibuku. Sebelum kutinggalkan kantor, kukatakan kepada seorang pembantuku
bahwa tak seorang pun boleh menemuinya. Kalau majikannya datang atau siapa pun
menanyainya, suruh ia tunggu di ruang tamu, sampai aku datang. Biarkan
perempuan itu istirahat secukupnya. Aku pun ingin istirahat juga.
Satu jam kemudian bel pintuku berdering lagi. Paling-paling pembantuku
di kantor itu datang lagi. Betul, ia sudah berdiri di situ tatkala pintu
kubuka.
“Majikannya datang,” katanya padaku singkat.
“Mau mengambil perempuan itu?”
“Maunya begitu, tapi saya suruh ia menunggu di ruang tamu.”
“Bagus.”
Aku sengaja berlambat-lambat mandi, sarapan, dan berpakaian. Hari ini
dan besok adalah hari libur yang aku punya hak untuk menikmatinya. Baru satu
jam kemudian, kutemui si majikan itu. Ia seorang wanita yang cukup
menawan, sekitar tiga puluhan usianya, bersama seorang pria yang kukira
seorang lelaki Barat.
“Saya Howeida,” katanya memperkenalkan dirinya padaku tatkala kami
salaman. “Ini teman saya, Richard.”
“Oo ya, apa yang dapat saya bantu untuk Anda?” tanyaku pura-pura tidak
tahu.
“Begini. Pembantu saya, Suminten, melarikan diri tadi pagi setelah
mencuri sejumlah uang saya.”
“Betul. Ada kira-kira beberapa ratus pound yang ia curi.”
“Saya tanyakan dulu nanti sama dia.”
“Sebab, itu saya minta ia kembali ke rumah bersama saya.”
“Oo, itu yang tidak dapat. Ia tidak mau lagi kembali kepada Anda.”
“Kan ia pembantu saya? Saya telah membayarnya tiap bulan dan saya telah
membayar segala sesuatu yang berkenaan dengan keberangkatannya kepada
perusahaan yang mengelolanya di negeri Anda”
“Betul. Tapi, Anda telah memperlakukannya tidak manusiawi. Malah Anda
telah menganggapnya lebih hina dari binatang. Anda telah memukuli seluruh
bagian tubuhnya dengan semena-mena.”
“Itu tidak betul.”
“Ia telah memperlihatkan luka-luka tubuhnya kepada saya.”
Perempuan itu terdiam, wajahnya seketika berubah. Aku pura-pura tidak
melihatnya.
“Tapi, babu itu harus kembali kepada nona ini dan Anda tidak boleh
menahannya,” tiba-tiba si lelaki bernama Richard itu bangkit dari kursinya.
Kuperhatikan sejenak lelaki jangkung dan tampan itu dari kaki sampai
kepala.
“Anda bukan suami nona ini kan?” kataku agak sinis.
“Hm, bukan.”
“Anda warga negara apa?”
“Amerika.”
“Anda tak ada urusan dengan saya dan Anda sama sekali tidak boleh ikut
campur masalah kami. Ini urusan saya dengan nona ini!” kataku agak keras.
“Tapi … saya teman Nona Howeida.”
“Teman sih teman, tapi ikut campur sama sekali tidak. Saya dapat
mempersilakan Anda keluar dari tempat ini kalau Anda berlaku tidak sopan lagi.”
Pelan-pelan lelaki itu duduk kembali. Bangsat! Pikirku, mentang-mentang
dari negara adikuasa lalu merasa dirinya berhak mencampuri urusan semua orang.
Betul-betul tidak tahu diri!
“Urusan begini sebaiknya Anda jangan bawa teman cowboy Anda itu ke
mari,” lanjutku kepada si nona.
Perempuan itu hanya diam dan memberi isyarat sebentar dengan mataya
kepada si jangkung.
“Lantas, dapat saya ketemu dengan pembantu saya itu?”
“Ia masih tidur,” kataku.
Memang ia masih tidur tatkala sesudah itu kuketok pintu kamarnya. Waktu
sudah bangun, pertama-tama ia menolak untuk bertemu dengan majikannya itu.
Tapi, setelah kukatakan bahwa aku akan menemaninya, ia mau.
“Tadi nona ini mengatakan, bahwa engkau telah mencuri uangnya. Betul?”
“Nona itu menuduh saya begitu?” katanya heran.
“Ya,” kataku. “Itu dikatakannya kepada saya.”
“Ya Gusti, ya Allah. Saya tidak pernah mencuri apa pun dari siapa pun
selama hidup saya. Nona itu telah bohong besar!”
“Anda telah berbohong,” kataku pada nona itu. “Ia tidak mencuri uang
Nona sepeser pun.”
Perempuan itu seperti tergagap oleh kata-kataku.
“Tapi … kenapa ia lari dari rumah di pagi buta begitu?”
“Sekali lagi ia tidak mencuri apa pun. Agaknya, Anda asal bilang saja.”
“Ya, kenapa ia lari dari rumah saya?”
“Karena ia tidak betah lagi hidup dengan Anda. Anda selalu menyiksa dan
memukulinya tanpa perikemanusiaan.”
Agaknya, perempuan itu mulai layu sekarang dan tak setegar seperti tadi.
Ketika kutanyakan nama lengkap dan alamatnya di sini, ia segera menjawab tanpa
menaruh curiga apa pun.
“Tapi … saya dapat mengobatinya.
Saya seorang dokter.”
“Kami di sini juga punya seorang dokter.”
“Dan saya … berjanji tak akan memukulinya lagi.”
“Ia sudah tidak mau lagi kepada Anda. Dokter kami dapat membuktikan dan
menjadi saksi di pengadilan tentang penyiksaan itu. Saya dapat hari ini
langsung ke kantor polisi melaporkan hal itu dan Anda dapat saya jebloskan
ke dalam penjara!” kataku keras dan tanpa berkedip.
“Oo, tidak, tak usah sampai ke sana!” perempuan itu tiba-tiba saja
tertunduk pucat. Lama juga kami berdiam diri. Lelaki bernama Richard yang suka
sok itu juga hanya diam dan memandangi perempuan itu dengan rasa iba. Setelah
beberapa lama, nona itu mengangkat wajahnya dan katanya:
“Dapat saya berbicara empat mata dengan Tuan?”
Aku tidak segera dapat memutuskan. Mungkin, perempuan itu telah begitu
ketakutan dan menyesali apa yang pernah ia lakukan. Kukatakan kepada Suminten
untuk sebentar menunggu di situ. Kuajak nona itu berbicara di
kantorku. Ternyata kedua mata perempuan itu telah berkaca-kaca tatkala
ia mulai bicara lagi di hadapanku.
“Tak saya sangka semuanya akan berakhir begini,” katanya lirih. “Saya
menyesal sekali atas segala apa yang telah pernah saya perbuat. Tak usahlah
Anda menyeret saya ke polisi dan ke pengadilan. Saya berjanji tak akan
melakukannya lagi. Saya rela melepas Suminten pulang ke negerinya kalau
memang itu yang ia inginkan. Saya bersedia membayar semua ongkos pulangnya,
membayar semua gajinya yang tersisa walau ia tidak lagi bekerja
pada saya. Saya bersedia membayar ganti rugi atas semua perlakuan saya
yang tidak pantas, dan saya juga bersedia membayar semua ongkos pengobatannya.
Itu sama sekali tidak dapat saya bayangkan. Saya sangat
menyesal sekali, demi Allah, atas segala kelakuan saya yang tidak
terhormat itu.”
Agaknya nona itu telah begitu menyesali dirinya. Kukatakan bahwa esok
pagi kalau tak salah ada pesawat yang menuju Jakarta. Suminten dapat naik
pesawat itu, kataku.
“Oo ya, telepon saja pesan tempat sekarang juga. Hm, apa ia akan bawa
cek atau uang kontan saja?”
“Saya kira ia tidak mengerti apa itu cek dan sebagainya. Lebih baik uang
tunai saja.”
“Kalau begitu siang nanti saya kembali lagi, saya tidak bawa uang tunai.
Akan saya ganti lima ribu dolar untuk sisa gajinya, lima ribu dolar untuk
kerugian moral yang ia derita dan lima ribu lagi untuk ongkos pengobatannya
nanti. Saya tidak tahu apa itu cukup, tolong Anda katakan pada saya.”
“Mungkin sudah cukup. Tapi, akan saya tanyakan juga Suminten nanti. Ia
yang punya urusan dalam hal ini.”
Meninggalkan kantorku dan ruang tamu juga, perempuan itu tak banyak
bicara seperti semula. Ia tampak begitu murung dan menundukkan kepala. Ketika
kutanyakan pada Suminten tentang jumlah uang yang ditawarkan, ia
hanya bilang:
“Cukup sekali, Pak. Kasihan, ia tampak sedih sekali tadi. Sebetulnya, ia
saya anggap seperti anak saya sendiri.”
“Tak ingin tambah lagi?”
“Ah, sudah cukup. Oo ya, Bapak apakan ia tadi kok seperti lantas lunglai
dan nurut sama Bapak?”
Aku tersenyum. Lalu kukatakan padanya dengan suara agak pelan, bahwa
tadi ia telah kuancam untuk kujebloskan ke dalam penjara. Suminten tiba-tiba
ketawa kecil cekikikan. Kasihan ah,” katanya. “Sebetulnya ia seorang yang baik.
Mudah-mudahan juga semua perbuatannya yang lain menjadi baik juga. Ia datang ke
sini untuk belajar lagi, untuk ambil spesialis. Itu yang pernah saya dengar
dari salah seorang adiknya.”
* * *
Betul,
siang itu sang nona cantik itu datang lagi, meski tidak bersama si Richard. Ia
membawa uang tunai ratusan dolar dalam sebuah amplop dan diserahkannya
kepadaku.
“Tak usah segan-segan,” katanya padaku.”Kalau uang ini memang masih
kurang, katakan terus terang kepada saya.” Kukatakan terima kasih. Suminten
juga telah saya tanya, kataku, dan ia bilang cukup. Perempuan itu juga
menyerahkan sebuah tiket pesawat yang agaknya telah ia konfirmasikan.
* * *
Esok
paginya kuantarkan Suminten ke bandara. Biasanya, aku tidak pernah mengantarkan
seorang TKW yang pulang. Itu sama sekali bukan urusanku. Namun ini kurasa lain.
Aku ingat ibuku.
“Uang sebanyak itu harap kausimpan baik-baik, misalnya di bank,” kataku
padanya sebelum meninggalkan ruang tunggu.” Atau kaubelikan sawah atau kebun
atau apalah yang berguna dan dapat berkembang.”
“Ya,” katanya
“Oo ya, memangnya Nona Howeida itu teman baik si Richard? tanyaku lagi.
“Kemarin siang lelaki itu tidak ikut lagi waktu Nona Howeida menyerahkan
uang untukmu itu.”
“Tapi … Tuan Richard itu sering bermalam di flat Nona Howeida dan saya
tahu sendiri mereka tidur dalam satu kamar.”
“Oo, ya?”
“Sebab itu saya katakan kemarin, mudah-mudahan kelakuan nona itu makin
lama jadi makin baik. Semoga saja ia insaf, seperti sikapnya terhadap diri
saya.”
“Dan yang jadi sopirnya, itu siapa?”
“Oo, itu sih Domo, orang sekampung saya, walau rumahnya terletak di
seberang sungai. Ia juga …”
“Kenapa?”
Suminten ketawa kecil cekikikan, cukup lama juga.
“Ia …, ia juga suka dipanggil oleh si nona untuk menemaninya sebelum
kenal Richard.”
“Oo, ya?”
Suminten ketawa cekikikan lagi, dan aku sengaja membiarkan ia tenggelam
dalam cerita yang begitu menggelitikinya. Secara garis besar, cerpen M. Fudali
Zaini tersebut bertemakan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan. Setiap cerpen
mempunyai tema yang tidak sama. Tema cerpen dapat berupa kefanaan manusia,
hubungan antarmanusia, dan bermacam penyakit psikososial yang diidap oleh
banyak orang di Indonesia.
Penggunaan bahasa yang sederhana, seperti bahasa sehari-hari menjadikan
cerpen mudah dipahami. Tokoh-tokohnya pun digambarkan secara sederhana, yaitu
tokoh yang sering kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada
nilai-nilai atau unsur kehidupan. Pada cerpen M. Fudoli Zaim pun terdapat
nilai-nilai kehidupan, di antaranya nilai religi atau agama, nilai sosial
budaya,
dan nilai pendidikan atau ajaran moral.
Cerpen Suminten
Sumber :
http://www.crayonpedia.org/
ARTIKEL TERKAIT: