“Sajak Potret Keluarga”
Karya : W.S. Rendra
Tanggal
lima belas tahun rembulan.
Wajah
molek bersolek di angkasa.
Kemarau
dingin jalan berdebu.
Ular
yang lewat dipagut naga.
Burung
tekukur terpisah dari sarangnya.
Kepada
rekannya berkatalah suami itu :
“Semuanya
akan beres. Pasti beres.
Mengeluhkan
keadaan tak ada gunanya.
Kesukaran
selalu ada.
Itulah
namanya kehidupan.
Apa
yang kita punya sudah lumayan.
Asal
keluarga sudah terjaga,
rumah
dan mobil juga ada,
apa
palgi yang diruwetkan ?
Anak-anak
dengan tertib aku sekolahkan.
Yang
putri di SLA, yang putra mahasiswa.
Di
rumah ada TV, anggrek,
air
conditioning, dan juga agama.
Inilah
kesejahteraan yang harus dibina.
Kita
mesti santai.
Hanya
orang edan sengaja mencari kesukaran.
Memprotes
keadaaan, tidak membawa perubahan.
Salah-salah
malah hilang jabatan.”
………
Tanggal
lima belas tahun rembulan
Angin
kemarau tergantung di blimbing berkembang.
Malam
disambut suara halus dalam rumputan.
Anjing
menjenguk keranjang sampah.
Kucing
berjalan di bubungan atap.
Dan
ketonggeng menunggu di bawah batu.
Isri
itu duduk di muka kaca dan berkata :
“Hari-hari
mengalir seperti sungai arak.
Udara
penuh asap candu.
Tak
ada yang jelas di dalam kehidupan.
Peristiwa
melayang-layang bagaikan bayangan.
Tak
ada yang bisa diambil pegangan.
Suamiku
asyik dengan mobilnya
padahal
hidupnya penuh utang.
Semakin
kaya semakin banyak pula utangnya.
Uang
sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.
Ya,
Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.
Apakah
jaminan pendidikannya ?
Ah,
Suamiku !
Dahulu
ketika remaja hidupnya sederhana,
pikirannya
jelas pula.
Tetapi
kini serba tidak kebenaran.
Setiap
barang membuatnya berengsek.
Padahal
harganya mahal semua.
TV
Selalu dibongkar.
Gambar
yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan.
Akhirnya
tertidur…….
Sementara
TV-nya membuat kegaduhan.
Tak
ada lagi yang bisa menghiburnya.
Gampang
marah soal mobil
Gampang
pula kambuh bludreknya
Makanan
dengan cermat dijaga
malahan
kena sakit gula.
Akulah
yang selalu kena luapan.
Ia
marah karena tak berdaya.
Ia
menyembunyikan kegagalam.
Ia
hanyut di dalam kemajuan zaman.
Tidak
gagah. Tidak berdaya melawannya !”
…………………………………..
Tanggal
lima belas tahun rembulan.
Tujuh
unggas tidur di pohon nangka
Sedang
di tanah ular mencari mangsa.
Berdesir-desir
bunyi kali dikejauhan.
Di
tebing yang landai tidurlah buaya.
Di
antara batu-batu dua ketam bersenggama.
Sang
Putri yang di SLA, berkata :
“Kawinilah
aku. Buat aku mengandung.
Bawalah
aku pergi. Jadikanlah aku babu.
Aku
membenci duniaku ini.
Semuanya
serba salah, setiap orang gampang marah.
Ayah
gampang marah lantaran mobil dan TV
Ibu
gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah.
Suasana
tegang di dalam rumah
meskipun
rapi perabotannya.
Aku
yakin keluargaku mencintaiku.
Tetapi
semuanya ini untuk apa ?
Untuk
apa hidup keluargaku ini ?
Apakah
ayah hidup untuk mobil dan TV ?
Apakah
ibu hidup karena tak punya pilihan ?
Dan
aku ? Apa jadinya aku nanti ?
Tiga
belas tahun aku belajar di sekolah.
Tetapi
belum juga mampu berdiri sendiri.
Untuk
apakah kehidupan kami ini ?
Untuk
makan ? Untuk baca komik ?
Untuk
apa ?
Akhirnya
mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !
Kemacetan
mencengkeram hidup kami.
Kakasihku,
temanilah aku merampok Bank.
Pujaanku,
suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku “
………………………………………
Tanggal
lima belas tahun rembulan.
Atap-atap
rumah nampak jelas bentuknya
di
bawah cahaya bulan.
Sumur
yang sunyi menonjol di bawah dahan.
Akar
bambu bercahaya pospor.
Keleawar
terbang menyambar-nyambar.
Seekor
kadal menangkap belalang.
Sang
Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya :
“
Ayah dan ibu yang terhormat,
aku
pergi meninggalkan rumah ini.
Cinta
kasih cukup aku dapatkan.
Tetapi
aku menolak cara hidup ayah dan ibu.
Ya,
aku menolak untuk mendewakan harta.
Aku
menolak untuk mengejar kemewahan,
tetapi
kehilangan kesejahteraan.
Bahkan
kemewahan yang ayah punya
tidak
juga berarti kemakmuran.
Ayah
berkata : “santai, santai ! “
tetapi
sebenarnya ayah hanyut
dibawa
arus jorok keadaan
Ayah
hanya punya kelas,
tetapi
tidak punya kehormatan.
Kenapa
ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini?
Hasil
dari bekerja ? Bekerja apa ?
Apakh
produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ?
Seorang
petani lebih produktip daripada ayah.
Seorang
buruh lebih punya jasa yang nyata.
Ayah
hanya bisa membuat peraturan.
Ayah
hanya bisa tunduk pada atasan.
Ayah
hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa.
Ayah
tidak produktip melainkan destruktip.
Namun
toh ayah mendapat gaji besar !
Apakah
ayah pernah memprotes ketidakadilan ?
tidak
pernah, bukan ?
Terlalu
beresiko, bukan ?
Apakah
aku harus mencontoh ayah ?
Sikap
hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku.
Ayah
dan ibu, selamat tinggal.
Daya
hidupku menolak untuk tidak berdaya. “
Yogya, 10 Juli 1975.
Potret Pembangunan dalam Puisi
(http://zhuldyn.wordpress.com)
Puisi WS. Rendra “Sajak Potret
Keluarga”
Karya : W.S. Rendra
ARTIKEL TERKAIT: