Asal Mula Nama Jaro
Ditulis oleh : Loki Santoso
Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong
Kalimantan Selatan
Di
antara gemerisik daun ilalang di pinggiran jalan setapak, dua pasang kaki
telanjang pria paruh baya melangkah tak kenal lelah menyusuri lereng bukit di
sepanjang pesisir sungai.
“Jek
adhoh to kang gone sing diparani kui?” tanya Muhiman kepada temannya.
“Yo,
embuh, dek. Sing penting, mengko lak wis pethuk uwong, ngaso disek. Karo
te`ko-te`ko, gon endi lemah ombo sing subur lan oleh digarap,“ jawab Marto
Kuncung, sambil terus melangkah.
Di
kejauhan, tampak kepulan asap di sebuah gubuk.
“Kae`
koyok enek gubuk. Ayo, mrono,“ sahut Muhiman.
Keduanya
bergegas ke gubuk itu.
“Kulo
nuwuuun….“ Hampir bersamaan, Muhiman dan Marto Kuncung mengucapkan salam. Tak
ada jawaban. Sekali lagi, Marto Kuncung mengulangi salam, tapi tetap tak ada
sahutan dari gubuk di tengah sawah yang kering dilanda kemarau itu.
Di
kejauhan, tampak seseorang bergegas menuju pondok. Setiba di depan Marto
Kuncung dan Muhiman, ia keheranan melihat dua pria itu. Saat dua orang asing
itu mengucapkan salam, pemilik gubuk tadi tengah membakar sekam di ladang,
bekas panen bulan lalu.
“Kulo
nuwun…,” Muhiman dan Marto Kuncung kembali mengucapkan salam.
Pemilik
pondok terheran-heran, tak mengerti sama sekali dengan perkataan tamunya.
“Permisi,
Pak…,” kata Marto Kuncung dalam bahasa Melayu, mengulurkan tangan untuk
berjabatan. “Kenalkan, saya Marto Kuncung. Ini kawan saya, Muhiman…“
“Oh,
begitu?” sahut pemilik gubuk, menghela napas panjang. Lega, karena dapat
memahami kata-kata tamunya. “Saya, Milir. Mari ke gubuk saya, Pak,“ katanya
sambil menggeser pintu gubuk.
Setelah
meletakkan barang bawaannya di halaman, dua pria itu terbungkuk-bungkuk masuk
ke gubuk berukuran empat meter per segi, yang beratap ilalang dan berdinding
kulit kayu kering itu.
”Barang-barangnya
dibawa ke dalam saja, Pak,” kata Milir kepada dua tamunya yang membawa buntalan
sarung yang ujungnya saling diikatkan.
Dengan
kikuk, Muhiman dan Marto Kuncung mengambil kembali buntalannya,
terbungkuk-bungkuk menghormat pemilik gubuk.
“Umanyaaa…!
Ada tamu, nah! Jarangakan banyu pang. Kasian, urang jauh bajalan…,” Milir
berseru kepada istrinya yang berada di belakang gubuk, dengan bahasa yang sama
sekali tak dimengerti kedua tamunya.
Akhirnya,
mereka terlibat dalam percakapan panjang, dengan bahasa campur aduk, hingga
matahari mendekati bibir Bukit Batu Kumpai. Bias cahaya senja menjilati puncak
gunung yang terletak di sebelah barat gubuk.
Nyala
lampu damar meliuk-liuk tertiup angin malam lewat celah-celah dinding. Di gubuk
berlantai bambu tanpa bilik, duduk tiga pria paruh baya dan seorang wanita
dengan garis-garis kecantikan masa lalu, membelakangi ketiganya.
Ditemani
teh, kopi dan sepiring kedelai dari bibit yang siap ditanam, tiga pria itu
bercakap-cakap.
”Terima
kasih, Bapak sudah menerima kami di sini. Kalau boleh, kami ingin membantu
Bapak bercocok tanam di ladang,” ujar Marto Kuncung.
“Tapi
kami tak mampu membayar,“ jawab Milir.
“Kami
tidak minta bayaran, Pak. Diberi tempat berteduh dan makan saja pun, cukup,”
sahut Marto Kuncung.
“Kalau
mau seadanya, ya, silakan saja. Kita sama-sama bekerja. Nanti kita buka lahan
baru, agar hasilnya lumayan.”
Pembicaraan
berlanjut pada soal-soal lain, tentang asal muasal Muhiman dan Marto Kuncung
yang sedang merantau, hingga akhirnya terdampar di situ.
Dalam
hati, Muhiman dan Marto Kuncung merasa amat berdosa, karena telah membohongi
tuan rumahnya yang baik hati. Padahal, mereka sebenarnya adalah pekerja rodi
yang melarikan diri dari pengejaran tentara Jepang, dan tersesat ke situ.
Kokok
ayam jantan di kandang samping gubuk membangunkan penghuninya, yang bangun dari
tidur beralaskan tikar purun . Di timur, matahari bersinar keemasan, menerobos
celah-celah daun di puncak gunung, diiringi kicauan burung, menandai datangnya
hari baru.
Muhiman
membuka mata, saat secercah cahaya menerobos masuk celah atap ilalang. ”Marto,
bangun. Sudah pagi,” katanya seraya menarik sarung kumal yang dipakai temannya.
Keduanya berjalan ke sungai kecil di belakang gubuk, mengambil air dan mencuci
muka, kemudian mengelilingi ladang.
”Hari
ini kita membantu Pak Milir membakar sekam ini, membersihkannya, agar bisa
ditanami lagi. Nanti kita tanyakan, Pak milir punya bibit apa saja untuk
ditanam,” ucap Marto Kuncung penuh semangat.
Ketika
keduanya kembali ke gubuk, sudah tersedia singkong goreng dan pisang goreng,
yang menjadi sarapan pagi itu.
“Seadanya
saja dulu, ya, Pak? Kemarin tak sempat menumbuk padi, jadi belum bisa menanak
nasi…,” Mak Milir mempersilakan kedua tamunya menyantap hidangan. Meskipun baru
berjumpa, mereka seakan sudah lama bersahabat.
Tiga
pria paruh baya itu tak kenal lelah membersihkan batang-batang jerami kering
bercampur perdu dan rumput liar di ladang yang cukup luas. Berhari-hari mereka
membersihkan lahan. Sepekan kemudian, selesailah semuanya, dan ladang siap
untuk ditanami.
“Apa
nama tempat ini, Pak?” tanya Marto Kuncung, saat mereka beristirahat di bawah
pohon besar yang rindang, sementara menunggu kiriman makanan dari Mak Milir.
“Tidak
ada. Kami pun baru tiga kali musim tanam berladang di sini,“ jawab Milir.
”Kalau di sana, itu namanya Liang Luit. Di situ hanya ada beberapa rumah. Dari
situ, kita bisa berjalan ke pasar, “ Milir menunjuk ke barat, ke kaki Bukit
Batu Kumpai.
“Kalau
panen, kedelainya nanti dijual ke mana, Pak?”
”Ke
pasar. Kita harus sama-sama memikulnya.”
Milir
mengisahkan kehidupannya suami-istri yang jauh dari permukiman penduduk.
Segalanya harus dikerjakan sendiri, sejak bercocok tanam, memanen, hingga
menjual hasilnya.
Beberapa
waktu sejak dua orang pelarian romusha itu ikut bercocok tanam, kedelai sudah
panen.
“Besok
kita jual ke pasar…,” kata Milir pada kedua temannya, sambil memasukkan
biji-biji kedelai ke karung goni.
“Inggih,
Pak. Kapan kita berangkat? Biar agak pagi sampai di pasar,“ tanya Marto
Kuncung.
“Sebelum
fajar, agar tidak kesiangan.“
Di
bawah sinar bulan purnama, malam itu di gubuk di tengah ladang sepasang mata
terus menerawang. “Musim tanam yang akan datang aku harus membuka ladang
sendiri, agar nanti bisa pulang ke Pulau Jawa, menjemput keluargaku, untuk
bertani di sini. Tanah di sini luas dan subur,“ Marto Kuncung membatin.
Pagi
masih remang-remang, saat cahaya lampu obor meliuk-liuk di antara rimbunan
pohon perdu dan ilalang, menelusuri jalan setapak. Di kaki Bukit Batu Kumpai,
tiga pria dan seorang perempuan paruh baya berjalan beriringan. Seorang
memanggul, dua lainnya memikul. Sambil memegang obor, yang perempuan berjalan
di antara mereka, dengan punggung menggendong lanjung . Saat mereka tiba di Pasar
Muara Uya, matahari sudah terbit di ufuk timur.
Setelah
kedelai laku terjual, Milir memberikan uang kepada dua orang temannya itu. “Ini
untuk kalian. Siapa tahu kalian mau membeli sesuatu…”
Di
pasar, Muhiman dan Marto Kuncung berpisah untuk membeli keperluan
masing-masing.
Muhiman
yang pendiam dan tak pandai berbahasa Melayu, selalu canggung dan bingung pada
hal-hal yang baru ditemuinya. Beberapa pedagang pasar memerhatikan tingkah
lakunya yang tampak kebingungan.
”Handak
manukar apa pian, Cil?” tanya seorang pedagang.
Mendengar
pertanyaan yang sama sekali tak dipahaminya itu, Muhiman hanya menjawab
singkat, “Inggih…”
Jawaban
Muhiman membuat orang-orang makin penasaran.
“Sampian
matan mana? Hanyar hajakah sampian ka sia?” Pedagang lain menghujani Muhiman
dengan pertanyaan.
“Inggih,
inggih….”
“Andika
urang mana?”
Meskipun
bingung, Muhiman berusaha memahami kata-kata para pedagang itu. Makin lama,
makin banyak orang mengerubunginya. Muhiman semakin bingung, kikuk, gugup dan
terbata-bata.
“Bapak
berasal dari mana?“ tanya seseorang yang bisa berbahasa Melayu. “Njero , Pak,“
sahut Muhiman, sambil menujuk arah mereka datang tadi.
“Ooo….
Jaro. Jaro itu di mana, Pak?“
“Njero
kono, adhoh.”
“Ooo…
Ya, ya, ya…”
Para
pedagang dan orang-orang di sekitar Muhiman manggut-manggut mengiyakan,
meskipun tak mengerti kata-katanya. Mereka menyimpulkan, Muhiman berasal dari
sebuah tempat bernama“Jaro”.
Para
pedagang Pasar Muara Uya dan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu
kemudian menceritakan kepada yang lain, bahwa Muhiman berasal dari “Jaro”.
Karena tak bisa mengucapkan “njero” dengan fasih, masyarakat kemudian
menyebutnya “Jaro”.
Sejak
saat itu, kalau ada orang yang berasal dari tempat itu, apalagi kalau berasal
dari Suku Jawa, mereka menyebutnya “orang Jaro”. Sesuai dengan perkembangan
zaman, akhirnya nama “Jaro” melekat di lidah masyarakat. Kini, “Jaro” menjadi
salah satu nama kecamatan di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan.
Sumber :
Buku Cerita Rakyat
Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan
Selatan
ARTIKEL TERKAIT: