Anak Pipit dan Kera
Diceritakan kembali oleh Gufron
Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
Alkisah,
ada seekor kera yang hidup sendirian pada sebuah pohon dekat dengan tepian
sungai. Dia ditinggalkan oleh kawan-kawannya karena memiliki sifat sombong,
angkuh, dan lebih mementingkan diri sendiri ketimbang kepentingan kelompoknya.
Saking angkuhnya, dia menganggap bahwa pohon beserta tepian sungai tempatnya
tinggal adalah miliknya dan tidak akan membiarkan binatang lain (termasuk
kawan-kawan sejenisnya) datang mendekat.
Suatu
hari datanglah seekor itik yang ingin mencari makan dan mandi di tepian "milik"
Si Kera. Awalnya, Sang Itik dibiarkan saja berada di tepian. Tetapi ketika
melihat air tepian menjadi keruh, Si Kera segera turun dari pohon untuk
menegurnya. Dengan nada kesal, Si Kera berkata, "Engkau memang tidak tahu
malu, wahai Itik. Sebelum engkau mandi di tepianku, bercerminlah terlebih
dahulu! Paruhmu seperti sudu, matamu sipit seperti pamkipit (kutu busuk),
sayapmu laksana kajang sebidang (atap daun nipah), dan jari-jemarimu berselaput
seperti ikan! Intinya, engkau sangat jelek sekali!"
Mendengar
cemoohan Si Kera tadi membuat Sang Itik malu sekaligus sakit hati. Ingin
rasanya dia memukul wajah Si Kera, namun apalah daya dirinya jauh lebih kecil
dan memiliki sayap dan kaki yang lemah. Sang Itik hanya dapat menangis untuk
menumpahkan rasa kejengkelan dan kekesalannya sambil berjalan meninggalkan
tepian sungai.
Di
tengah jalan dia berjumpa dengan seekor induk pipit yang sedang memberi makan
anaknya. "Hai itik, mengapa engkau menangis?" tanya Sang Pipit.
"Waktu
aku mandi dan membuat keruh air di tepian sungai, Si Kera yang tinggal di sana
mencaci dan menghina habis-habisan hingga membuatku menjadi malu sekali,"
jawab Sang Itik sambil sesenggukan.
"Apa
saja yang dikatakannya?" tanya Sang Pipit.
"Segala
hal tentang keburukan bentuk tubuhku," jawab Sang Itik singkat.
"Tenang
saja Itik. Aku akan menolongmu. Besok kembalilah ke sana dan mandilah engkau
hingga puas," jawab Sang Pipit percaya diri.
"Nanti
kalau dicaci-maki lagi, bagaimana?" tanya Sang Itik.
"Aku
akan memberitahumu segala hal tentang keburukan Si Kera. Nanti, apabila dia
memakimu, kau balas saja dengan menyebut segala keburukannya," jawab Sang
Pipit sambil mendekat dan mulai membisikkan keburukan Si Kera.
Singkat
cerita, keesokan harinya Sang Itik datang lagi ke tepian "milik" Si
Kera. Seperti kemarin, dia langsung berenang mencari makan sekaligus
membersihkan badan, sehingga air tepian menjadi kotor lagi.
Hal
ini tentu saja membuat Si Kera berang dan langsung memaki, "Hei Itik!
Apakah rupamu yang jelek itu sudah tidak punya rasa malu lagi?"
Sang
Itik pura-pura tidak mendengar dan tetap melanjutkan mandinya hingga air tepian
menjadi sangat keruh. Setelah puas, barulah dia keluar dari air untuk pulang ke
rumah. Begitu juga hari berikutnya, Sang Itik datang dan mengotori air tepian
lagi hingga Si Kera murka dan mencaci makinya seperti kemarin.
Setelah
Kera habis perbendaharaan katanya, giliran Sang Itik angkat bicara,
"Apakah engkau merasa tampan wahai Kera? Berkacalah juga engkau di air
tepian itu! Seluruh tubuhmu ditumbuhi bulu-bulu kasar, kepalamu seperti dantui
(sejenis kuini hutan) yang dilumu (dimasukkan ke mulut untuk diambil sarinya
dan disisakan bijinya), telapak tanganmu hitam dan kotor, kuku-kuku kaki dan
tanganmu..."
Belum
selesai Itik berbicara, Si Kera langsung memotong, "Lancang sekali engkau
Itik! Pasti ada yang telah memberitahumu tentang keburukanku!"
"Sang
Pipit yang telah mengajariku," balas Sang Itik singkat.
"Kurang
ajar sekali dia. Aku akan mendatangi sarangnya!" kata Si Kera marah.
Mendengar
kata-kata itu Sang Itik langsung beranjak dari air dan pergi menuju sarang Sang
Pipit. Sesampainya di sana, Sang Itik langsung melapor bahwa Kera marah dan
akan datang menemuinya.
"Alangkah
bodohnya engkau Itik. Seharusnya engkau tidak menyebutkan siapa yang telah
mengajarimu. Sekarang aku dan anak-anakku terpaksa harus mengungsi untuk
menghindari amukan Kera!" kata Sang Pipit kesal.
Namun,
sebelum Sang Pipit sempat berkemas, tiba-tiba Kera sudah berada di depan sarang
dan langsung menerkam. Untungnya terkaman itu dapat dihindari oleh Sang Pipit
dengan terbang menghindar menuju pohon lain. Merasa kesal tidak dapat menerkam
Pipit, Si Kera segera mendekati anak Pipit lalu menangkap dan memasukkan ke
dalam mulutnya. Kemudian dia duduk menanti Induk Pipit menjemput anaknya.
Oleh
karena berada di dalam mulut Kera yang gelap dan pengap, anak Pipit menjadi
ketakutan. Dia lalu memanggil ibunya, "Apakah Ibu sudah datang?"
"Mmmm..."
jawab Kera seenaknya.
"Apakah
Ibu sudah mandi?"
"Mmmm..."
kata Kera geli.
"Apakah
Ibu telah tidur? Kok jawabnya cuma mmm..."
Mendengar
ucapan itu Si Kera tidak dapat lagi menahan gelinya hingga tertawa
terbahak-bahak dan membuat mulutnya terbuka lebar. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh anak Pipit. Dia langsung mengepakkan sayapnya yang agak basah
oleh air liur untuk terbang keluar mencari induknya.
"Kurang
ajar!" umpat Si Kera. Dia merasa tertipu oleh ulah anak Pipit. Apalagi
anak itu telah meninggalkan kotoran di dalam mulutnya. Merasa kalah telak
dengan ditinggalkannya kotoran di dalam mulut, Si Kera menjadi murka dan kalap.
Dia lalu mencari bambu untuk dijadikan sembilu. Tujuannya, sebagai alat untuk
mengais kotoran dari dalam mulutnya.
Tetapi
karena sudah kalap, bukan kotoran yang dikaisnya melainkan lidahnya sendiri
yang dipotong. Darah pun keluar dengan deras dan tidak terhenti hingga membuat
Kera sekarat dan akhirnya mati.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Diceritakan kembali oleh Gufron
Anak Pipit dan Kera
Diceritakan kembali oleh Gufron
Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
ARTIKEL TERKAIT: