Hikayat Cabe Rawit
Cerita Rakyat Aceh Selatan
Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung
antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga
yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti
pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada
lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan
dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan
istirahat keluarga tersebut.
Demikianlah
miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun
demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin
beribadah.
“Istriku,”
kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah
di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal,
aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak
pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah,
suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar
nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa
Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya
bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.
Malam
itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya
memohon agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami
mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu
akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun
mengamini doa suaminya.
Beberapa
minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah
curiga kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada
ciri-ciri kalau perut istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit
dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.
Waktu
terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri
merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua
suami-istri tersebut. Hendak pergi berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan
pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba
berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak
mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu,
ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
“Sudahlah
istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah
kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak
kita kelak kalau memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur
sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan
ayah.
Singkat
cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah
berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan
keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut
dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati
bersama.
Sahdan,
suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan
si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu
sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat
keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang
kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan
bekerja menggantikan ayah.”
“Jangan
anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa
pada dirimu,” sahut ibunya.
“Sudahlah,
Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”
“Anakku,
kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu
sekarang. Ibu tak mau kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.
“Aku
akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa.
Nanti, kalau memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku
mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.
Cabai
rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu
pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke
pasar tanpa bekal apa pun.
Belum
sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga
pisang pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè
pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil
ini,” kata cabe rawit.
Spontan
pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke
samping, tapi tak dilihatnya seorang pun manusia.
“Mugè
pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku
yang kecil ini.” Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia
kembali melihat ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya
sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama,
mugè pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang
dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang
bicara. Karena tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat
keberadaan cabe rawit di sana.
Sepeninggalan
mugè pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè
itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang.
“Darimana kau dapatkan pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.
Cabe
rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar.
“Daripada diambil orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja
pisang-pisang ini, Bu,” katanya.
Keesokan
harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah
jalan, lewatlah pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris
mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit
pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini.
Ibuku pasti menangis nanti,” kata sara itu.
Berhentilah
pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak
didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah
mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari
pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang
mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena
tubuhnya yang teramat mungil.
Sepeninggalan
pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah
ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali
bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba
meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan
burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah
tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.
Keesokan
harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di
pertengahan jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga
ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang
meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa
beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari
meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa
pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe
rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya darimana ia mendapatkan ikan.
Begitulah
hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di
perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta,
keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah
harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara
cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas
pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda
miskin menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang
kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana
mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak
memiliki siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.
Si
janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda
tetap bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah
mulai marah, terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku.
Kalau kepala kampung mau marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau
memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.
Kepala
kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara
itu.
Beberapa
kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah
seorang penduduk melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun
di sana. Sedangkan saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian
mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” kata suara
itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.
Singkat
cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil,
sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia
menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang
keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan
penduduk di sana.
Akhirnya,
para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama
anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke
pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk berkenan
memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras,
garam, pakaian, dan sebagainya.
Ditulis
oleh Herman RN berdasarkan tuturan lisan Halimah (80-an), seorang warga Ujung
Pasir, Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan.
Hikayat Cabe Rawit
Cerita Rakyat Aceh
Selatan
Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
ARTIKEL TERKAIT: