Ledakan Tiga Biji Limpasu
Ditulis oleh : Mahfuzh Amin
Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong
Kalimantan Selatan
Alkisah,
dahulu kala ada Kerajaan Lambu Garang. Kerajaan itu terletak di tempat yang
sekarang bernama Kampung Paramian, Kabupaten Tabalong. Disebut Kerajaan Lambu
Garang, karena rajanya bernama Lambu Garang. Raja itu amat zalim. Ia suka
memeras keringat rakyatnya sendiri, yang kebanyakan petani.
Raja
Lambu Garang senang mengumpulkan perempuan cantik sebagai selir. Tak ayal lagi,
siapa pun yang disukainya, gadis, janda, bahkan isteri orang sekalipun, akan
diambilnya secara paksa, dengan berbagai cara. Tak ada yang berani melawannya,
karena taruhannya adalah nyawa. Konon, selir Raja Lambu Garang berjumlah 40
orang, selain permaisuri cantik bernama Singkap Siang.
Suatu
hari, ketika Raja Lambu Garang berburu bersama pengawalnya, ia melihat
perempuan cantik. Kecantikannya melebihi kecantikan selir-selirnya, bahkan
lebih cantik daripada permaisuri. Pertemuan itu terjadi saat rombongan tiba di
Kampung Harung. Raja Lambu Garang ingin memboyong perempuan itu ke istana,
untuk dijadikan selirnya yang ke-41. Tapi, kabar tentang perempuan itu membuat
niatnya tertunda.
Perempuan
bernama Diang Sasar itu ternyata isteri Datu Magat, tokoh berpengaruh di
Kampung Harung. Selain ahli bertani dan memiliki ladang yang luas, Datu Magat
dikenal sakti. Ia tidak hanya tinggal bersama istrinya, tapi juga bersama adik
kandungnya, Diang Wangi. Diang Wangi pun berwajah cantik, tak kalah cantik
dengan kakak iparnya.
Karena
Datu Magat tokoh sakti dan dihormati, tidak mudah bagi Raja Lambu Garang untuk
mendapatkan Diang Sasar. Jika memaksakan diri, ia akan mendapat perlawanan
tokoh sakti itu. Apalagi kalau warga Kampung Harung membantu Datu Magat, tentu
akan berimbas pada kerajaannya.
Namun,
bukan Raja Lambu Garang namanya jika tak punya akal untuk mendapat yang
diinginkannya. Ia meminta Datu Magat agar menjadi Patih kerajaan di istana.
Datu Magat yang tak menyadari kelicikan raja, bersedia menjadi Patih Baras.
Sejak itu, Datu Magat bersama isterinya tinggal di istana. Keberadaan Diang
Sasar di istana, dimanfaatkan Raja Lambu Garang untuk mendekatinya. Makin hari,
keinginannya untuk menjadikan Diang Sasar sebagai selir, makin membuncah.
Raja
Lambu Garang mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam dengan mengundang seluruh
rakyat dan pejabat kerajaan. Bagi rakyat, ini pesta pertama yang diadakan raja
kejam itu. Agak aneh, memang. Tapi, rakyat menyambutnya dengan suka cita.
Rakyat mendapat makanan dan minuman secara cuma-cuma, segala macam hiburan pun
diadakan.
Di
sela keramaian pesta, raja menjalankan rencananya. Raja Lambu Garang ingin
minum madu lebah, dan meminta Datu Magat menemani mencarinya di hutan. Sebagai
Patih, Datu Magat tak kuasa menolak perintah rajanya. Esok paginya, rombongan
raja dan pengawalnya pun berangkat.
Setibanya
di hutan, mereka hanya menemukan satu sarang lebah, di puncak pohon yang besar
dan tinggi sekali. Mustahil memanjatnya, kecuali menggunakan tangga. Raja
memerintahkan pengawal membuat tangga, bersambung-sambung, hingga setinggi
pohon. Setelah tangga jadi, Datu Magat diperintah raja memanjat pohon itu.
Tapi,
semuanya hanya tipu muslihat belaka. Saat Datu Magat tiba di puncak pohon, Raja
Lambu Garang memerintahkan pengawal memotong tangga itu di bagian bawah. Tangga
panjang itu pun roboh. Datu Magat tak dapat turun. Raja Lambu Garang beserta
rombongan pengawal segera pulang ke istana, membawa kabar kematian Datu Magat.
Raja amat gembira. Tak lama lagi, Diang Sasar akan menjadi selirnya.
Datu
Magat seakan kehilangan kesaktiannya saat berada di puncak pohon. Ia tak dapat
turun, hanya berharap ada orang lewat yang akan menolongnya. Tapi, harapannya
sia-sia. Pohon itu terletak di tengah hutan belantara yang jarang dilalui
orang. Siang malam dilaluinya dengan menahan rasa lapar dan kantuk.
Di
saat genting itu, Datu Magat teringat pada Ipra Maruwai, yang pernah berjanji
akan menolongnya jika ada masalah. Datu Magat ingat peristiwa yang dahulu
menimpa adiknya, Diang Wangi.
Pada
suatu hari, Datu Magat kaget atas pengakuan Diang Wangi, bahwa dia hamil. Hal
itu membuat Datu Magat marah besar, sebab Diang Wangi belum bersuami. Namun,
amarahnya terpendam.
Ternyata,
tak seorang pun tahu siapa yang telah menghamili Diang Wangi, termasuk Diang
Wanginya sendiri! Katanya, malam hari ia sering merasakan ada yang
menggaulinya. Tapi, saat itu terjadi, ia tak sadarkan diri. Saat sadar, yang
menggaulinya sudah tak ada lagi.
Datu
Magat tak tinggal diam.
Ia
mengatur siasat untuk menangkap basah orang yang telah menghamili adik
kandungnya itu. Ia mengumpulkan kulit bamban , mengolahnya menjadi tali yang
panjang sekali. Juga, dibuatnya tempat persembunyian di semak belukar di
seberang rumah.
Malam
pun tiba.
Diam-diam,
Datu Magat mengawasi rumah dari tempat persembunyiannya. Lewat tengah malam,
dilihatnya kabut tiba-tiba turun menyelimuti rumahnya. Semula, ia mengira kabut
itu hanya embun, yang biasanya turun menjelang dini hari. Tapi, makin lama
kabut itu makin tebal dan, anehnya, hanya menyelimuti rumahnya, tidak
menyelimuti rumah tetangganya yang lain!
Saat
itu juga, tiba-tiba rasa kantuk yang luar biasa menyerang Datu Magat.
Datu
Magat sadar, kabut dan kantuk yang tiba-tiba datang itu adalah ilmu sirep
pelaku yang telah menghamili Diang Wangi! Ia langsung membaca mantra, hingga
tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning.
Perlahan-lahan,
kabut itu lenyap dari pandangan mata Datu Magat.
Samar-samar,
seorang pria bertubuh raksasa sedang mengendap-endap di jendela kamar Diang
Wangi. Pria itu hanya mengenakan cawat kulit kayu. Datu Magat segera
menjalankan siasatnya. Saat raksasa itu tengah melampiaskan hawa nafsunya,
diikatkannya tali bamban ke cawat lelaki itu, dan tanpa suara kembali ke tempat
persembunyiannya.
Keesokan
harinya, Datu Magat mengikuti tali bamban itu, dan menemukan raksasa itu sedang
tertidur pulas di bawah sebatang pohon besar. Sejenak ia berpikir: jika raksasa
itu dibunuhnya selagi tidur, itu tindakan pengecut. Dibangunkannya makhluk itu
dengan mencabut bulu kakinya yang besar-besar, lebat dan panjang. Raksasa itu
kaget dan langsung terbangun.
Bukannya
mengamuk, makhluk raksasa itu malahan langsung menyembah, mengiba-iba, memohon
ampun kepada Datu Magat. Ia mengaku telah menghamili Diang Wangi, dan memohon agar
Datu Magat menikahkan mereka. Datu Magat tersentuh, urung membunuh. Pria
raksasa itu tampaknya golongan jin. Atas kebaikannya, raksasa bernama Ipra
Maruwai itu berjanji akan menolong Datu Magat saat kesusahan, hanya dengan
menyebut namanya tiga kali.
Dengan
hati yakin, Datu Magat memanggil nama Ipra Maruwai tiga kali. Dalam sekejap,
yang dipanggil datang. Dengan tubuh raksasanya, Ipra Maruwai dengan mudah
membantu Datu Magat turun dari puncak pohon. Sesampainya di bawah, Datu Magat
menceritakan peristiwa yang menimpanya. Mendengar itu, Ipra Maruwai marah
besar. Ia memberi Datu Magat tiga buah biji limpasu , dan berpesan agar
dilemparkan satu per satu di tengah keramaian pesta. Apabila terdengar suara
ledakan, Datu Magat harus lari secepat mungkin. Datu Magat pun kembali ke
istana, menyamar sebagai rakyat biasa yang ingin menyaksikan pesta dan hiburan.
Setelah
menjemput istrinya, setibanya di tempat pesta, Datu Magat langsung melemparkan
sebiji buah limpasu. Tapi, tak terjadi apa-apa. Dilemparkannya lagi biji
limpasu yang kedua, sama saja.
Datu
Magat bingung.
Dengan
bimbang, dilemparkannya biji limpasu yang ketiga. Seketika, terdengar suara
dentuman yang dahsyat dan menggelegar. Datu Magat dan Diang Sasar berlari
kencang meninggalkan istana kerajaan.
Ledakan
yang timbul dari biji limpasu itu seketika membuat suasana pesta gaduh dan
kacau balau. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling tabrak, saling injak.
Apalagi saat bumi berguncang hebat, satu per satu tiang bangunan istana roboh,
tanah longsor.
Istana
kerajaan terbenam ke perut bumi, bersama Raja Lambu Garang, permaisuri dan
selir-selirnya, pejabat kerajaan, juga seluruh rakyat yang hadir dalam pesta.
Dalam sekejap, istana Kerajaan Lambu Garang lenyap dari muka bumi, hanya dengan
tiga biji buah limpasu.
Datu
Magat dan Diang Sasar kembali ke tempat asalnya di Kampung Harung, hidup tenang
dan bahagia bersama Diang Wangi dan Ipra Maruwai, yang telah dikaruniai putra
bernama Arya Tadung Wani. Di akhir hayatnya, Datu Magat dimakamkan di kebunnya
sendiri, di tempat yang kini termasuk Kelurahaan Pembataan, tak jauh dari
Mapolres Tabalong, Tanjung.
Sumber :
Buku Cerita Rakyat
Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan
Selatan
ARTIKEL TERKAIT: