Si Diang Bakut
Ditulis oleh : H. Akhmad T. Bacco
Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong
Kalimantan Selatan
Syahdan,
di Kampung Timbuk Bahalang , Haruai, hiduplah seorang petani bernama Raden
Palewangan. Tubuhnya gagah dan kekar. Ia mempunyai istri yang cantik jelita,
baik tutur katanya, sopan-santun dalam pergaulan. Namanya Kenanga Boyan. Sesuai
namanya, seumpama bunga kenanga, yang wanginya menghiasi konde pengantin.
Mereka
keturunan bangsawan Kerajaan Tanjung Puri yang menjauhkan diri dari perebutan
kekuasaan dan pertikaian di istana, menutup diri dari khalayak ramai.
Sehari-hari, mereka dipanggil “Abah Diang” dan “Uma Diang” saja. Akhirnya,
mereka bermukim di Kampung Timbuk Bahalang.
Kampung
itu sunyi, hutan belantaranya lebat sekali. Penduduknya warga Dayak Ma’anyan,
Deah dan Lawangan. Hutan yang lebat, luas dan gelap, dihuni hewan payau ,
kijang, kancil dan burung haruai, yang bulunya dipakai Suku Dayak sebagai tanda
kepahlawanan.
Di
kaki bukit, mengalir Sungai Tabalong Kiwa, yang berhulu di Tampirak, Muara Uya.
Sungai itu menyimpan berbagai jenis ikan, seperti saluang, sanggang, barahmata,
hadungan, singgah manginang, buntal, dan lain sebagainya. Ikan daratnya,
haruan, papuyu, dan kihung. Di Sungai Mati Kampung Timbuk Bahalang, ada ikan
yang sekarang mahal harganya, yakni bakut . Di sinilah awal kisah.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, kehidupan Raden Palewangan dan Kenanga
Boyan semakin baik. Sawah menghasilkan, tanaman pun berbuah dengan baik. Warga
Timbuk Bahalang hidup sejahtera.
Setelah
tiba masanya, Kenanga Boyan pun hamil.
Duduk
melepas lelah di beranda rumah, Raden Palewangan berkata kepada istrinya,
“Adinda, kehamilanmu sudah delapan bulan….”
“Ya,
Kakanda.”
”Betapa
bahagianya kita, jauh dari pertikaian keluarga.”
“Benar,
Kakanda. Mudah-mudahan anak kita baik budi pekertinya, seperti permaisuri yang
cantik dan berkuasa.”
“Huss,
Adinda. Jangan berharap seperti permaisuri. Nanti kita kejangkitan kekuasaan
lagi…”
”Maaf,
Kakanda. Adinda tiba-tiba teringat permaisuri, yang ingin berkuasa lewat Raden
Purwaka, anak tunggalnya itu.”
“Ya,
tapi itu ‘kan di Kerajaan Tanjung Puri? Semoga anak kita nanti tidak begitu.
Kita memang keturunan ningrat. Tapi, kita tak perlu menyebut asal muasal
keluarga, nanti warga akan mengangkat kita sebagai pemimpin kampung ini. Kita
akan repot…”
“Baiklah,
Kakanda. Semoga anak kita baik-baik saja.”
Jelang
sembilan bulan sembilan hari, lahirlah bayi mungil Kenanga Boyan. Wajahnya amat
cantik.
Upacara
syukuran pun dilaksanakan, dengan membuat nasi halarat dan baaruhan . Bayi
mungil yang cantik itu dibalut dengan kain kuning, dan pada malam harinya
diadakan karasmin , dengan manuping .
Penari
wanita yang cantik-cantik menari dengan kutang warangka , diiringi gendang
karawitan. Para pria menari bagai orang gila, bersaing satu sama lain. Tangan
mereka merogoh warangka para penari, sambil menyusupkan uang. Sebentar saja,
kutang para penari itu sudah penuh berisi binggul .
Semakin
malam, suasana semakin panas. Opas Belanda larut dalam pesta, hingga teler
akibat arak atau tuak putih yang disediakan tuan rumah. Pesta berakhir
menjelang dini hari.
Dengan
berlalunya waktu, putri Raden Palewangan tumbuh menjadi seorang gadis yang
cantik jelita. Berbeda dengan ibundanya yang peramah dan lemah-lembut, Putri
Aima suka menyendiri.
Pada
suatu hari, ia bermain di pinggir Sungai Tabukan, di bawah pohon lua. Putri
Aima mulai mengenal lawan jenisnya. Ia selalu mengimpikan pria yang akan jadi
pendamping hidupnya kelak.
Ia
selalu bermain sendirian di bawah pepohonan yang tumbuh berjejer di tepi Sungai
Tabalong Kiwa itu. Pohon lua tumbuh besar-besar dan berbuah sepanjang tahun.
Buahnya jadi makanan kesukaan kijang dan pelanduk. Oleh karena itu, kijang dan
pelanduk sering berada di bawah pohon-pohon itu.
Putri
Aima mampu bicara dengan pelanduk.
“Hai,
pelanduk!”
“Hai,
Putri Aima…,” sahut pelanduk.
Putri
Aima menghampiri pelanduk. Hewan itu diam saja. “Kamu tinggal di mana?”
“Dekat
sini saja,” jawab pelanduk.
“Boleh
aku ke tempatmu?”
”Boleh,”
jawab pelanduk lagi.
Mereka
menuju tempat tinggal pelanduk, dalam goa di antara semak belukar di pinggir
sungai. Goa itu diterangi cahaya matahari yang muncul di sela-sela lubang. Pelanduk
masuk ke salah satu lubang di dalam goa.
Tak
lama kemudian, muncul seorang pemuda tampan.
”Selamat
datang, Putri Aima,” sapa pemuda tampan itu, membuat hati Putri Aima bergetar
memandangnya. Ternyata, pemuda itu penjelmaan pelanduk!
Putri
Aima menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senyuman. Dengan ramah, pemuda
itu mengajak Putri Aima masuk lebih jauh lagi ke dalam goa. Ternyata, di sana
ada kolam yang luas dan berair jernih. Saat pemuda tampan itu mengajaknya
berenang, Putri Aima gembira. Ajaib, ia dapat menyelam dan bernapas dalam air.
Mereka berenang dengan riang gembira, berkejaran ke sungai.
Tak
disangka, perlahan-lahan tubuh Putri Aima berubah menjadi ikan berwarna hitam.
Pemuda itu juga berubah menjadi ikan yang sama, berusaha menenangkan Putri Aima
yang terkesima, dan mengajaknya bicara.
“Putri
Aima, kami adalah bangsa ikan yang mendiami Sungai Mati di Timbuk Bahalang ini.
Kami sering kehilangan warga kami. Warga senang menangkap ikan. Mereka telah
menangkap ratu kami. Karena itu, Putri Aima kami ambil sebagai pengganti…,“
kata ikan hitam itu.
“Oh…
Bisakah aku bertemu ibunda lagi?”
“Bisa.
Asalkan engkau muncul di permukaan air, menunggu ibumu mandi atau mencuci…”
Kenanga
Boyan amat histeris akibat kehilangan anak gadis satu-satunya yang amat
dicintainya. Raden Palewangan pun merasa terpukul. Seluruh warga kampung
berusaha menemukan Putri Aima, mencarinya dengan bagandang nyiru .
Semua
upaya itu tak membuahkan hasil. Orang-orang pintar dan dukun dimintai bantuan.
Mereka semuanya mengatakan, bahwa Putri Aima masih hidup, tapi entah di mana.
Kenanga
Boyan menangis sambil mencuci pakaian dan mandi di tepi Sungai Tabalong, hingga
air matanya jatuh berderai ke air sungai. Pada saat itu, tiba-tiba munculah
Putri Aima, dalam wujud ikan bakut, melompat ke atas lanting .
”Ibundaaa….!”
Kenanga
Boyan mencari-cari suara yang mirip suara putrinya itu. “Oh… Siapa engkau?
Engkaukah yang bicara, ikan bakut?”
“Ya,
Bunda. Aku putrimu, Aima! Aku telah ditenung jadi ikan bakut dan dibawa ke
kerajaan mereka, karena warga Timbuk Bahalang pernah menangkap ratunya. Aima
diminta sebagai gantinya.”
“Oh,
Anakku… Bisakah engkau kubawa pulang?”
“Bisa,
Bunda. Ulun bisa dimasukkan ke dalam ember. Setiap malam, ulun bisa bertemu
Ibunda dan Ayahanda.”
Dengan
berurai air mata, Kenanga Boyan memasukkan ikan bakut yang kepalanya bermahkota
itu ke dalam ember, lalu membawanya pulang. Peristiwa itu diceritakannya pada
suaminya.
“Istriku,
tampaknya ini memang sudah kehendak dewata. Kita harus bersabar,” kata Raden
Pelewangan.
Tepat
pada saat itu juga, ikan bakut melompat keluar ember dan berubah menjadi Putri
Aima.
“Ayahanda…!
Ibundaaa…!” seru Putri Aima sambil menangis dan memeluk kedua orangtuanya.
Mereka berpelukan, menangis bahagia. Sepanjang malam, mereka berkumpul bersama.
Pagi harinya, Putri Aima kembali menjadi ikan bakut. Karena itulah, Putri Aima
disebut “Putri Ikan”, atau “Si Diang Bakut”.
Kisah
ini melegenda di Kampung Timbuk Bahalang. Sejak saat itu, di Sungai Mati banyak
ditemui ikan bakut. Warga takut menangkapnya. Takut anak mereka kelak menjadi
ikan bakut, seperti riwayat Putri Aima. Padahal, jika dapat menangkap ikan itu,
sungguh beruntung. Selain harganya yang mahal, ikan bakut juga berhasiat
sebagai obat.
Sumber :
Buku Cerita Rakyat
Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan
Selatan
ARTIKEL TERKAIT: