Si Pujung Jadi Batu
Ditulis oleh : Lilies MS
Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong
Kalimantan Selatan
Di
Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, ada Kampung Pujung. Di pinggiran
kampung itu, ada patung batu. Patung yang bentuknya menyerupai alat kelamin
pria itu konon alat kelamin Pujung, setelah dikutuk ibunda Putri Tunjung Sari,
istri Mahapatih Kerajaan Tanjung Puri.
Sebelum
Kerajaan Banjar berdiri, ada kerajaan Dayak Maanyan bernama Kerajaan Nan
Sarunai. Seiring dengan itu, ada Kerajaan Tanjung Puri. Kerajaan Tanjung Puri
dipimpin raja yang bijak bestari. Dalam memimpin, raja didampingi patih yang
arif, tangkas dan cerdas, bernama Mahapatih Mahe.
Mahapatih
Mahe yang berdarah Melayu hidup berbahagia dengan istri dari keturunan Raja Nan
Sarunai. Dari perkawinannya, ia mendapat anak laki-laki, yang kemudian bermukim
di Barito (Barito Timur sekarang), dan menjadi damang di sana. Seorang lagi,
Putri Tunjung Sari, kecantikannya sudah tersohor ke mana-mana, bukan hanya ke
Sungai Bahan dan Sungai Negara, tapi ke seluruh penjuru negeri.
Putri
Tunjung Sari bersahaja, berbudi luhur, terampil dan cerdas. Teman-temannya
sangat menyukainya. Ia pandai menari dan menyanyi. Setiap panen raya, Putri
Tunjung Sari dan teman-temannya memeriahkan pesta dengan menarikan tarian
kurung-kurung dan gintur . Banyak pria jatuh cinta padanya.
Berseberangan
sungai dengan Kerajaan Tanjung Puri, ada seorang saudagar yang kaya raya. Ia
memiliki kebun yang amat luas, bermukim di daerah Pitab, batang Balangan .
Saudagar itu berasal dari Suku Dayak Pitab, Balangan. Ia menjual hasil ladang
dan kebunnya di Kerajaan Tanjung Puri.
Saudagar
kaya itu memiliki putra bernama Pujung.
Pujung
memiliki kesaktian yang luar biasa. Tenaganya luar biasa. Tubuhnya tinggi,
besar dan kekar, mata agak sipit, alisnya tebal seperti golok. Konon, dengan
tangan telanjang saja ia mampu mematahkan dan membelah batung .
Pujung
pandai memainkan mandau , sumpit dan kuntau , juga menari. Di balik tubuhnya
yang kekar, dapat menari dengan lincah, mengikuti irama kenong, dengan gerak
gintur-nya. Tapi, sifatnya tidak sabaran, kalau sedang marah meledak-ledak.
Saat
panen raya tiba, rakyat Kerajaan Tanjung Puri bergembira ria atas hasil ladanga
dan kebun yang melimpah ruah. Mereka mengelar pesta rakyat, aruh adat. Aruh
adat selalu diramaikan dengan tari-tarian. Tari gintur dan kurung-kurung
digelar, Putri Tunjung Sari bersama empat temannya pun menari.
Setelah
tari kurung-kurung usai, dilanjutkan tari gintur, dengan iringan musik kenong,
gong, babun dan kulimpat . Penarinya masih Putri Tunjung Sari bersama
kawan-kawannya, tapi dengan jumlah penari lebih banyak, ditambah balian . Pada
saatnya, balian mengajak penonton menari, menariknya dengan selendang kuning
atau putih, dan bersama-sama memainkan tongkat batang patake. Ini dinamakan
bagintur , salam penghormatan kepada para tokoh yang hadir di pesta.
Pujung
juga diundang bagintur.
Tak
disangka, ia dipasangkan menari dengan Putri Tunjung Sari, gadis yang telah
mencuri perhatiannya saat mandi di batang banyu . Bagi Pujung, ini bagai
mukjizat, peristiwa yang dimpikan banyak pria. Hati siapa tidak berdebar, saat
menari bersama gadis pujaannya?
Sambil
menari, Punjung berkata, ”Tunjung, aku masih boleh menemuimu, ‘kan?”
Putri
Tunjung Sari hanya mengangguk kecil dan tersenyum manis.
Ketika
tarian usai, Pujung tak menyia-nyiakan kesempatan. Sembari menutup langkah
akhir gerakan kaki, ia menatap mata indah Putri Tunjung Sari, dan berbisik,
“Putri yang jelita, terima kasih untuk kesempatan ini. Aku takkan
melupakannya…”
Putri
Tunjung Sari hanya menampakkan giginya yang berkilau rapi, sambil undur diri.
Pertemuan
itu memberi kesan yang mendalam bagi Pujung. Tak sedetik pun waktu berlalu
tanpa bayangan Putri Tunjung Sari. Hatinya tak keruan. Ia tergila-gila pada
gadis itu dan bermaksud memilikinya.
Pagi
harinya, di pinggiran sungai, Pujung menyanyi sambil menjaga babi-babi
piaraannya. Suling ditiupnya, dibawakannya sebuah nyanyian. Syair lama tentang
peristiwa tragis di Kerajaan Nan Sarunai, akibat serangan Majapahit , yang
akhirnya memunculkan kepemimpinan Uria Pitu .
Suara
suling Pujung yang merdu membuat yang mendengarnya terlena.
Tapi,
tiba-tiba suara suling itu berubah dengan nada lain yang memekakkan telinga.
Sepasang jin telah merasuki jiwa Pujung. Jin jahat itu menggoda, membujuk, dan
membakar syahwatnya.
Pujung
tak kuasa menahan syahwatnya.
Dengan
mata merah, liar dan beringas, ia bergegas ke tebing sungai. Saat itu Putri
Tunjung Sari dan teman-temannya sedang mandi dan mencuci. Pujung
berteriak-teriak, memanggil Putri Tunjung Sari dan mengajaknya bercinta.
Putri
Tunjung Sari dan teman-temannya ketakutan melihat tingkah Pujung yang aneh.
Mereka lari ketakutan, hingga akhirnya Putri Tunjung Sari tertinggal sendirian
di belakang.
Pujung
semakin menggila, nafsu berahi makin menguasainya. Putri Tunjung Sari lari
lintang pukang.
Saat
terpojok di tebing, tubuh Putri Tunjung Sari limbung dan terjatuh ke dalam
sungai. Ia menjerit sekuat tenaga. Suaranya menghilang, saat tubuhnya masuk ke
dalam pusaran arus air yang bergolak.
Saat
itulah, Pujung sadar. Sepasang jin terkekeh, keluar dari jiwanya. Pujung panik
dan kebingungan. Ia mengiba-iba, penuh penyesalan. “Tunjung… Maafkan aku,
Tunjung! Maafkan aku, wahai pujaanku…!”
Pujung
melompat dan menceburkan diri ke dalam sungai, menyelam sekuat tenaga, dengan
cinta dan penyesalan. Dengan kesaktiannya, dibendungnya sungai itu hingga
kering dan terbelah dua . Tapi, usahanya sia-sia. Putri Tunjung Sari tak ada.
Penyesalan menyiksa hati Pujung. Gadis pujaannya telah lenyap terbawa arus, dan
hilang entah kemana.
Senja
pun tiba. Langit gemuruh. Hujan turun amat derasnya, bagai gelombang yang
ditumpahkan dari langit. Seorang perempuan paruh baya datang tergopoh-gopoh,
marah dan murka. Dimaki-makinya Pujung, karena telah membuat anak gadisnya
hilang. Dengan air mata berlinang dan tubuh gemetar, istri Mahapatih Mahe itu
bersimpuh, bersujud ke langit, dan memohon:
“Ya,
Tuhan… Karena menuruti hawa nafsu, terkutuklah engkau, Pujung! Agar setimpal
dengan perbuatannya, buatlah alat kelamin Pujung menjadi batu! Tuhan, tunjukkan
kekuasaan-Mu! Terkutuklah engkau, Pujung, terkutuklah…!”
Langit
semakin gemuruh. Hujan dan badai mengamuk, mengaduk-aduk seisi alam. Guntur dan
petir bersahut-sahutan, membahana membelah angkasa.
Ketika
hujan dan badai reda, alat kelamin Pujung telah berubah menjadi batu. Putri
Tunjung Sari konon terbawa arus sungai ke Kerajaan Negara Dipa, yang terletak
di Hujung Tanah, pertemuan antara Sungai Amandit dan Sungai Negara. Di pinggir
sungai, Putri Tunjung Sari diselamatkan Empu Jatmika, yang kemudian bergelar
Maharaja di Candi Laras .
Empu
Jatmika memiliki dua putra, Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat.
Sepeninggal
Empu Jatmika, Lambung Mangkurat mengangkat Putri Tunjung Sari, yang entah benar
atau tidak, juga disebut “Putri Junjung Buih”, menjadi Raja di Negara Dipa; dan
kekuasaannya meliputi batang Tabalong, batang Balangan, batang Perak, batang
Alai, batang Amandit dan pegunungan di sekitarnya. Tempat di mana patung alat
kelamin Pujung itu berada, sekarang disebut Kampung Pujung, di Kecamatan
Bintang Ara; berbatasan dengan Kecamatan Haruai, terhubung dengan jembatan
panjang peninggalan kolonial.
Kalau
sedang menuju Kecamatan Tanjung, orang akan melewati Jembatan Mahe, yang
terletak di Kampung Mahe, Kecamatan Haruai. Nama itu berasal dari nama
Mahapatih Kerajaan Tanjung Puri, ayahanda Putri Tunjung Sari.
Sumber :
Buku Cerita Rakyat
Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan
Selatan
ARTIKEL TERKAIT: