Kejadian Kejadian Pada Layar
Cerpen Ardy
Kresna Crenata
Koran Tempo,
13 April 2014
SEBUAH layar.
Sebuah biru yang dominan. Di sudut kanan agak ke bawah, sesosok lelaki.
Ada
benda-benda serupa burung lamat beterbangan dari kanan tengah ke kiri atas,
dari sebentuk rimbun pohon dengan daun-daun gemuk menuju semacam langit yang
masih hampa. Hanya ada kepak yang gamak. Lelaki itu mendengkur. Seseorang di
sampingnya, sesosok perempuan, serupa perempuan, mengatur desah napasnya untuk
tak mengendap jadi mimpi buruk yang akan membangunkan lelaki itu. Tangan
kanannya menjuntai, seperti hendak menyentuh tubuh lelaki itu. Tapi, tangan itu
terhenti, seperti jeda yang dipaksa ada.
“Kau harus
pergi, dan mati. Lelaki itu tak boleh tahu.”
Suara berat
itu tak pernah memiliki asal. Wujudnya tak pernah ada. Jika dilacak, hanya akan
tampak butir-butir terserak. Sesuatu serupa hujan, atau salju. Sesuatu yang
hanya mengenal biru, seperti halnya setiap benda yang terhampar di layar itu.
Burung-burung tadi telah pergi, meski tak mati. Di waktu yang terpatri mereka
akan muncul lagi, membawa payah rasa lelah di kepak mereka untuk
tumpah-rebah-ruah dalam istirah. Tapi ia, sesosok perempuan itu, harus mati.
“Kau harus
tiada agar ia lupa.”
Perempuan itu
mengangguk.
“Kau akan lenyap seperti gelap.”
Perempuan itu
berdiri.
“Sebab, di matanya Tuhan telah memiuhkan pagi.
Dan ia tak akan lagi sosok yang kaukenali.”
Perempuan itu
tak mengucapkan apa-apa. Sebab, ia tak lagi punya kata. Sebelum ia tampak
terbang sebelum angin seolah asin, ia menutup mata untuk menyaksikan perpisahan
yang berbeda. Tepat di dekat wajah lelaki itu air matanya jatuh. Tubuh
perempuan itu melayang dan mulai hilang seiring angin lamat berdesing. Lalu
biru. Lalu sepi.
SEBUAH layar.
Sebuah biru yang dominan. Di sudut kanan agak ke bawah, lelaki itu.
Tak ada
semacam nyanyi yang mengganggunya. Tapi ia terbangun. Bangkit. Dirasakannya ada
yang tak sama, seolah-olah detik sebelum ini tak pernah ada, seakan-akan semua
kembali tercipta begitu saja. Ia menyentuh pelipis kirinya. Ada sesuatu.
Beberapa jarinya mengatakan seperti itu. Seperti ada bekas luka yang lekas
tiada, tapi tak sempurna. Sesuatu telah terjadi padanya. Bahkan, ia tak tahu
siapa dirinya.
“Tuhan telah
memberimu nama.”
Seberkas
suara. Hanya seberkas. Getas dan tegas. Seperti di adegan pertama, suara berat
itu tak memiliki asal. Jika dicari, hanya ada kicau burung mirip kemarau
limbung. Angin berdesing, dan asing. Sesuatu serupa air mengalir mahir dari
kiri tengah ke tengah bawah. Barangkali itu sungai. Warnanya biru, seperti
benda-benda lainnya—yang bergerak atau pun tidak. Dalam alirnya, berbilah-bilah
kata menyeruak darinya.
Siapa aku?
Apa itu nama?
Tapi kembali
hanya seberkas suara. Getas dan tegas. Sesuatu yang seketika membuatnya tahu
bahwa ia belum tahu.
“Kau adalah
yang pertama dicipta. Kau adalah mula.”
Tapi ia
belumlah tahu apa itu mula. Sesuatu mengerjap-ngerjap di kiri atas. Seperti
cahaya. Sesuatu yang bukan bintang—dan tentu bukan matahari. Sesuatu itu tak
berwarna kuning. Tapi biru. Biru yang lebih rapuh. Muda yang tak bertenaga.
Sesuatu itu
bergerak agak cepat ke kanan bawah, ke arah lelaki itu. Lelaki itu berdiri.
Tegap tapi gugup. Sebelum dari lidahnya kata terlontar, sesuatu itu membesar
dan melebar, memanjang dan meninggi. Satu hitungan. Dua hitungan. Dan di
hadapannya kini sebuah wujud. Ia seperti tengah bercermin. Tapi ia baru
dicipta, dan ia belum tahu apa itu cermin, apa itu bayangan. Yang ia tahu: ia
takut.
“Tak perlu
takut. Aku bukan maut. Aku hanya sesuatu yang diutus agar kau tak lagi
terjerumus.”
Lagi?
Kata itu
bergaung tak mau rampung di benaknya, berganti rupa hanya untuk kembali ada. Ia
menduga, sebelum ini kejadian itu pernah ada. Langit itu, kepak burung itu,
dirinya. Tapi ia ingat sebuah kalimat telah dibisikkan kepadanya: kau adalah
mula.
“Ikut aku.
Tuhan telah menyiapkan nama-nama untuk kauingat, dan kata-kata untuk kauucap.”
Untuk apa?
“Agar kau perkasa menjadi raja atas dunia dan
manusia.”
Apa itu
dunia? Apa itu manusia?
“Dunia adalah tempat hidupmu. Manusia adalah
keturunanmu.”
Sesuatu itu
berjalan ke arah tengah yang entah. Ia mengikutinya, dan seakan yakin bahwa
sesuatu telah terlewat dalam detik jeda yang singkat. Ia berpikir. Ia (coba)
mengingat. Tapi darinya telah dihapuskan ingatan, meski masih bisa ia menyusun
sebuah pertanyaan: di mana surga?
Sesuatu itu
mendengar, menyelingar. Ia berhenti. Ia menoleh sedikit menatap lelaki itu dan
berkata, “Surga belumlah ada, sebab dosa belum tercipta.”
Benda-benda
di layar melindap samar. Dua sosok itu berjalan menuju tengah yang entah.
Burung-burung terbang hanya untuk hilang. Sebuah pohon. Sebuah sungai. Sebuah
usai.
Lalu semua
biru menyatu, menjadi satu warna saja, menjadi satu bentuk saja: layar itu.
SEBUAH layar
berwarna hitam yang tak menghadirkan apa-apa selain kelam. Sebuah cahaya,
memaksanya tampak. Dalam hitungan yang lamban, hitam itu menyerah perlahan.
Biru mulai menguasainya. Benda-benda tertangkap retina. Di tengah entah,
sesosok lelaki sedang berdiri membelakangi. Di kiri bawah, sebuah danau.
Bunyi angin
terdengar lain. Tak ada burung. Tak ada daun. Di tempat itu musim tak pernah
gugur. Tapi sebongkah hati, telah hancur.
Lelaki itu
menengadah merasakan hujan. Seperti terdengar ia merejan—atau mengejang. Sebuah
ranting patah jatuh ke tanah. Sesuatu serupa cahaya lindap dan jadi ada.
“Tuhan
menyayangimu dan Ia akan memberimu.”
Lelaki itu
menoleh ke kanan. Di kanan tengah di sebelah ranting yang patah, sesuatu yang
ia tahu.
Apa yang akan
Tuhan berikan?
“Sesosok yang lain, agar kau tak terasing.”
Apakah ia
sesuatu yang kutahu?
“Belum. Tapi kau akan tahu, persis ketika Ia
mencuri salah satu rusukmu.”
Sesuatu itu
lenyap. Lelaki itu kembali sendiri.
Ada perubahan
warna menjadi sangat muda dan pudar dan hambar. Masih biru, tapi nyaris putih
memuih. Lalu sebuah bunyi, bukan suara. Sebuah bunyi yang tak mengenal warna.
Seperti ada kabut, dan di baliknya benda-benda jadi siluet yang
berpindah-pindah dengan cepat.
Satu detik,
tiga detik. Setengah menit, satu menit. Lalu bunyi itu pergi. Hening. Warna
melindap gelap. Satu per satu, benda-benda tampak tertata di sana.
Sesosok
lelaki yang beberapa saat lalu terlihat tampak sedang tidur mendengkur di
sebuah ruang yang memang lengang. Sebuah pohon di sebelah kirinya tak berbuah.
Sesuatu di sebelah kanannya bukanlah rumah. Sebuah suara, berat menjerat,
seolah titah bagi seberkas cahaya untuk lambat mendekat. Perlahan, muncul
tangan. Perlahan, sebuah kejadian.
Meski
beberapa saat di layar itu terang gelap saling bergantian, angin selain lain
juga berpilin, burung-burung terbang tiba-tiba untuk lesap saat itu juga,
lelaki itu tampak tak berontak ketika tangan itu mematahkan dan mencuri sebuah
rusuknya, tulang yang kelak hilang. Gerakan lambat. Kondisi serupa masih
terjaga. Baru ketika tangan itu terhisap pusat cahaya, dan cahaya itu bergeser
ke kanan hingga tak ada, gelap melengkap dan angin mati.
Dari atas,
turun terbata-bata, sebuah tubuh yang sama rapuh. Menjejak kakinya, sosok baru
itu menoleh menatap lelaki itu. Ia seperti mengenali, tapi tak mungkin, sebab
ia baru ada. Di samping kanan lelaki itu, ia berbaring. Seketika ia tak sadar
dan itu wajar, sebab ia baru saja ada. Dan semua yang menyaksikan sungguh yakin,
sosok baru itu belum tahu apa-apa tentang dirinya, tentang untuk apa ia
dicipta.
SEBUAH layar.
Sebuah biru yang satu. Di kanan tengah, lelaki itu. Di sebelahnya, sosok baru
itu.
Beberapa saat
sebelumnya seberkas cahaya diam berpijar di kiri atas. Seperti lampu. Sebuah
suara memaksa mereka terjaga. Lalu seperti yang kini tampak, kedua sosok itu
saling menatap, seperti tengah mencoba mencairkan sesuatu yang baru beku.
Tanya lelaki
itu, Kamu siapa? Jawab sosok di hadapannya, Aku tak tahu.
Sesuatu yang
bukan bintang mendadak datang dan tak hilang. Langit menggelap—meski warna
tetap biru. Desau angin yang memang parau dipaksa usai. Suara sungai, membikin
ramai layaknya ladang di musim tuai.
Di sebelah
kanan mereka, sebatang pohon bergoyang-goyang. Gempa? Bukan. Belum ada gempa di
sebuah dunia yang masih muda. Dari arah tengah, dari sebuah titik yang entah,
bermunculan satu-satu, burung-burung dengan sayap kaku, menuju dan hinggap di
ranting-ranting pohon itu. Biru. Semua warna masih biru. Lalu setelah sekian detik
yang pelik, di tengah entah itu tak lagi ada sebuah titik. Ranting-ranting
pohon itu telah penuh. Terdengar darinya, sebuah gelisah yang rapuh.
Apakah kita?
Namun kali
ini tak ada suara. Dia dan sosok baru itu tetap saling menatap mencoba
mengenali satu sama lain. Tak ada angin. Mereka masih sebuah tubuh tanpa tempat
berlabuh. Meki tak satu pun ada yang tertutupi, mereka tak merasa risih. Mereka
masih sama-sama belum tahu, apa-apa saja yang bisa membuat mereka malu.
Lalu angin.
Tiba-tiba. Dari sungai sesuatu serupa air bercipratan menjangkau daun-daun baru
di pohon itu, menampah pekat warna biru yang satu itu. Sesuatu yang bukan
bintang, bergerak cepat dan hilang. Di beberapa ranting di pohon itu, buah-buah
telah bulat biru sempurna.
Lelaki itu
menoleh, juga sosok baru yang bersamanya. Mereka berdiri. Terdengar langkah
kaki di luar layar sebelah kiri. Terdengar kalimat, sesuatu yang bukan firman:
Buah-buah itu adalah dosa, yang akan membuat kalian binasa.
Lalu layar
seperti kacau saat terdengar sesuatu menyeracau. Terang gelap tumpang tindih
berganti silih. Benda-benda melindap maya. Balam. Hitam. Lalu biru. Lalu henti.
Apa yang
tampak di layar itu nyaris sama, kecuali sebuah terang di pohon itu, membentuk
sepasang batas membuatnya tampak kudus sekilas. Tanya lelaki itu, Kita akan
memakannya? Jawab sosok baru itu, Aku mengikutimu.
Maka
tangan-tangan mereka terangkat menyentuh-rengkuh buah-buah itu. Dipetiknya,
diamatinya, ditujukannya ke mulutnya. Memang, beberapa saat yang singkat
sebelum adegan yang baru itu, sebuah tulisan samar terlihat:Buah-buah itu
bukanlah dosa, namun cinta yang akan membuat kalian sempurna. Saat kedua sosok
itu mengunyah buah-buah itu, sebuah tulisan biru gelap melindap bergerak dari
kiri ke kanan: Inilah dosa pertama, yang karenanya surga ada.
SEBUAH layar.
Sebuah biru yang dominan. Dua garis kaku, membagi layar itu.
Di paling
kiri, sesosok perempuan telentang sementara ular-ular kecil melilit tubuhnya
dan menjadi rambutnya. Di atasnya, burung-burung bersayap gelap. Di atasnya,
kelam langit malam.
Di tengah,
sesosok lelaki. Bersamanya, seberkas cahaya dan segetas suara. Dari mulut
lelaki itu berloncatan kata-kata yang telah ia eja. Di bening matanya: air
mata.
Dan di paling
kanan adalah sesosok perempuan yang beberapa saat sebelumnya telah tahu bahwa
ia harus malu. Ia berusaha menutupi tubuhnya, seolah tubuh adalah dosa, atau
noda yang kekal ada. Di sepasang matanya: air mata. Di sebelah kiri di
dekatnya: pohon itu.
Lalu
perlahan-lahan layar menjadi samar. Satu-satu gambar-gambar itu membesar
menjadi satu-satunya yang terlihat. Sesosok perempuan telentang, sesosok lelaki
dan seberkas cahaya, sesosok perempuan lain. Di tiap-tiap layar itu membesar
masing-masing kata menjelma ada untuk kemudian kembali tertera ketika ketiga
gambar diperlihatkan dan biru sempurna berubah hitam:Maaf.
Ketika usai,
sebuah pertanyaan dimunculkan dalam tiga baris dengan warna putih: Siapa yang
sesungguhnya berdosa? (*)
Bogor, 2014
Ardy Kresna Crenata tinggal di
Dramaga, Bogor.
Sumber : http://lakonhidup.wordpress.com/
ARTIKEL TERKAIT: