Asal Mula Nama Simalungun
Cerita Rakyat Kabupaten Simalungun
Sumatera Utara
Simalungun
adalah nama kabupaten di wilayah Provinsi Sumatra Utara, ibukotanya Pematang
Raya, sebelum pemekaran beribukota Pematang Siantar. Sebagian wilayah berada di
deretan Bukit Barisan dan sebelah timur dataran rendah.Banyak perkebunan
peninggalan Belanda di daerah itu, seperti perkebunan Teh, Karet, dan Kelapa
Sawit.
Dahulu,
di wilayah Kampung Nagur, Sumatra Utara, terdapat sebuah kerajaan kecil bernama
Kerajaan Tanah Djawo. Kerajaan suku Batak yang bermarga Sinaga ini dipimpin
oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Dalam menjalankan tugas
pemerintahan, sang Raja didampingi oleh sejumlah hulubalang yang tangguh dan
setia sehingga kerajaan ini aman dan tenteram.
Sementara
itu, di luar wilayah Nagur, terdapat pula dua kerajaan suku Batak yang
berlainan marga, yaitu Kerajaan Silou dari marga Purba Tambak dan Kerajaan Raya
dari marga Saragih Garingging. Meskipun berlainan marga, kedua kerajaan ini
menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Nagur. Rakyat mereka pun
senantiasa hidup rukun dan makmur. Kemakmuran ketiga kerajaan kecil itu
ternyata menarik perhatian kerajaan-kerajaan lain untuk menguasainya.
Suatu
hari, tersiar kabar bahwa Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa akan datang
menyerang Kerajaan Tanah Djawo. Mendengar kabar tersebut, Raja Tanah Djawo
segera meminta bantuan kepada Kerajaan Silou dan Kerajaan Raya. Kedua kerajaan
itu pun menyatakan kesediaan untuk membantu Kerajaan Tanah Djawo dalam
menangkal serangan dari Kerajaan Majapahit.
Bantuan
yang diberikan oleh Kerajaan Silou dan Kerajaan Raya ternyata sanggup menangkal
bahkan mengusir pasukan Majapahit dari wilayah Nagur. Hal yang sama terjadi
ketika Kerajaan Silou mendapat serangan dari Kerajaan Aceh. Kedua kerajaan ini,
Kerajaan Tanah Djawo dan Kerajaan Raya, membantu Kerajaan Silou hingga akhirnya
selamat dari ancaman bahaya.
Suatu
ketika, ribuan tentara yang tidak diketahui asalnya datang menyerang ketiga
kerajaan tersebut secara bergantian. Pertama-tama, mereka Kerajaan Tanah Djawo,
lalu Kerajaan Silou, dan terakhir Kerajaan Raya. Meskipun sudah saling
membantu, ketiga kerajaan tersebut akhirnya takluk juga. Serangan itu membuat
masing-masing raja terpaksa menyelamatkan diri. Hal yang sama terjadi pula para
rakyat yang lari tunggang-langgang menghindari sergapan musuh. Mereka
meninggalkan wilayah itu secara berkelompok. Selama masa pelarian, mereka harus
berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran musuh.
Nasib
para pengungsi tersebut sangat menderita. Mereka dilanda kelaparan dan
terserang berbagai macam penyakit. Untuk bertahan hidup, setiap kelompok
pengungsi mencari tempat tinggal masing-masing yang dirasa aman. Sekelompok
pengungsi dari Kampung Nagur kemudian menemukan tanah Sahili Misir yang kini
dikenal pulau Samosir, yaitu sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah Danau
Toba. Di sanalah mereka menetap dan membuka perladangan untuk bercocok tanam.
Setelah
sekian lama menetap di pulau itu, hidup mereka pun mulai tertata. Bahkan,
mereka telah memiliki anak cucu. Suatu ketika, mereka merasa rindu untuk
kembali ke kampung halaman di Kampung Nagur. Mereka akhirnya mengadakan
musyawarah.
“Siapa
di antara kalian yang ingin kembali ke Kampung Nagur?” tanya seorang sesepuh
selaku pemimpin musyawarah.
Mendengar
pertanyaan itu, sebagian dari peserta enggan untuk kembali ke kampung halaman
mereka.
“Maaf,
Bapak-bapak. Kenapa kalian tidak mau ikut bersama kami? Apakah kalian tidak
rindu pada kampung halaman?” tanya sesepuh itu kepada mereka.
“Maaf,
Tuan Sesepuh. Sebenarnya kami pun sangat rindu pada kampung halaman. Tapi, kami
sudah merasa betah dan nyaman tinggal di pulau ini. Tempat ini sudah seperti
kampung halaman sendiri. Lagi pula, siapa yang akan menjaga hewan ternak dan
ladang-ladang jika semuanya ikut kembali ke kampung halaman?” jawab salah
seorang peserta musyawarah.
“Benar
Tuan Sesepuh, anak dan cucu kami pun
merasa senang tinggal di pulau ini,” imbuh seorang peserta musyawarah lainnya.
“Baiklah,
kalau begitu. Bagi yang ingin tetap tinggal di sini, ku harap kalian tetap
merawat baik-baik tempat ini. Bagi yang ingin pulang ke kampung halaman harap
segera mempersiapkan segala sesuatunya,” ujar sesepuh itu.
Para
warga yang berkeinginan kembali ke kampung halaman segera mengadakan persiapan
seperlunya. Mereka akhirnya berangkat menuju Kampung Nagur. Setelah
berhari-hari menempuh perjalanan, mereka akhirnya tiba di Kampung Nagur. Saat
tiba kampung halaman, beberapa warga terlihat menangis. Mereka teringat pada
peristiwa yang menimpa kampung mereka dahulu. Rumah-rumah mereka telah tiada.
Hanya tumbuhan semak-belukar dan pepohonan yang terlihat tumbuh dengan subur.
“Sima-sima
nalungun,” kata mereka.
Sejak
itulah Kampung Nagur berubah nama menjadi Sima-sima Nalungun, yang berarti
daerah sunyi sepi. Lama kelamaan, orang-orang menyebutnya Simalungun. Hingga
saat ini, kata Simalungun tetap dipakai untuk menyebut nama sebuah Kabupaten di
Provinsi Sumatra Utara.
Asal Mula
Nama Simalungun
Cerita Rakyat
Kabupaten Simalungun Sumatera Utara
ARTIKEL TERKAIT: