Legenda Danau Si Losung dan Si Pinggan
Legenda Asal Mula Danau Si Losung dan
Danau Si Pinggan
Cerita Rakyat Kecamatan Lintong Ni
Huta Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara
Si
Losung dan Danau Si Pinggan adalah nama danau yang berada di wilayah Kabupaten
Tapanuli Utara. Kedua danau ini berada di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni
Huta. Konon menurut cerita masyarakat setempat, munculnya kedua danau tersebut
akibat perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan harta warisan kedua
orang tuanya. Ceritanya sebagai berikut.
Alkisah,
pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah sepasang
suami-istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu
Dalu, sedangkan yang bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli
pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian
yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu
obat dan bermain silat sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi
pemuda yang gagah dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.
Pada
suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan
obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri
itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk
mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua
orang tua mereka telah tewas diterkam harimau. Dengan sekuat tenaga, kedua
abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara
penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang
tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak memiliki harta
benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu,
apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada anak sulung.
Sesuai hukum adat tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai
anak sulung.
Pada
suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di
hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.
“Bang,
bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”
“Untuk
keperluan apa, Dik?”
“Aku
ingin berburu babi hutan.”
“Aku
bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai
hilang.”
“‘Baiklah,
Bang Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.’”
Setelah
itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat
seekor babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir
panjang, dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. “Duggg…” Tombak
pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang, karena
dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi
hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.
“Wah,
celaka Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali,” gumam
Sangmaima dengan perasaan cemas.
Ia
pun segera mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya
menemukan gagang tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih
melekat pada lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.
“Waduh,
gawat Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam
Sangmaima.
Namun,
babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun
memutuskan untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.
“Maaf,
Bang Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa
lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.
“Aku
tidak mau tahu itu Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun
caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal.
“Baiklah,
Bang Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab Sangmaima.
“Sudah,
jangan banyak bicara Cepat berangkat” perintah Datu Dalu.
Saat
itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya
kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi
hutan itu hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan
sebuah lubang besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi
lubang itu sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam
lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.
“Aduhai,
indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.
“Tapi,
siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh
karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di
depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan
di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata
tombak menempel di perut wanita cantik itu. “Sepertinya mata tombak itu milik
Abangku,” kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik
itu.
“Hai,
gadis cantik Siapa kamu?” tanya Sangmaima.
“Aku
seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”
“Kenapa
mata tombak itu berada di perutmu?”
“Sebenarnya
babi hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku.”
“Maafkan
aku, Putri Sungguh aku tidak tahu hal itu.”
“Tidak
apalah, Tuan Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa
menyembuhkan lukaku.”
Berbekal
ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima mampu
mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari
sakitnya, ia pun berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada
abangnya.
Abangnya
sangat gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya.
Untuk mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat
secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima,
dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga
adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang
bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan
mendatangkan seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga
menyerupai seekor burung Ernga.[1] Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang
yang datang untuk melihat pertunjukkan itu.
Sementara
itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung.
Setelah mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai
pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para
tamu agar mau datang ke pestanya.
“Adikku
Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”
“Aku
tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita
burung Ernga ini jangan sampai hilang.”
“Baiklah,
Adikku Aku akan menjaganya dengan baik.”
Setelah
pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah
abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya,
melainkan menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia bermaksud
menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat pesta
abangnya selesai.
Waktu
yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui
wanita itu dan berkata:
“Hai,
Wanita burung Ernga Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi dari sini tanpa
sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu hilang.”
“Baiklah,
Tuan” jawab wanita itu.
Keesokan
harinya, Datu Dalu sangat terkejut. Wanita burung Ernga sudah tidak di
kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga
itu. “Aduh, Gawat Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini,” gumam Datu
Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya sudah berada di depan
rumahnya.
“Bang
Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu. Di mana dia?” tanya
Sangmaima pura-pura tidak tahu.
“Maaf
Adikku Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang
dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.
“Abang
harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.
“Dik
Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu menawarkan.
Sangmaima
tidak bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran
pun terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi.
Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga
perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.
Datu
Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang
Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung
Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi
sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Si
Losung.
Sementara
itu, Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu
dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan
adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga
menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.
Demikianlah
cerita tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di
daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.
Cerita
rakyat Asal Mula Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan ini dapat menjadi suri
tauladan karena mengandung pesan-pesan moral yaitu agar tidak bersifat curang
dan egois.
Legenda Asal Mula Danau Si Losung dan
Danau Si Pinggan
Cerita Rakyat Kecamatan Lintong Ni
Huta Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara
ARTIKEL TERKAIT: